Bingkaiwarta, KUNINGAN – Munculnya keterangan dari Bawaslu Kuningan, terkait dugaan adanya tekanan atau intimidasi kepada pegawai honorer di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kuningan untuk memilih salah satu paslon dalam pilkada Kuningan, mendapat tanggapan dari Pakar Hukum Muda, Erpan SH.
Erpan menyatakan, bahwa tindakan intimidasi kepada pegawai honorer merupakan tindakan yang tidak etis dan melanggar hukum, dan praktik ini bertentangan dengan prinsip demokrasi dan mencederai kebebasan hak politik pegawai honorer.
Menurutnya, jika benar dugaan yang dilontarkan Bawaslu ini ada, maka tidak menutup kemungkinan ada keterlibatan pejabat ASN dalam tindakan intimidasi terhadap Pegawai Honorer tersebut.
“Menurut ketentuan hukum yang ada, ASN yang terbukti melanggar prinsip netralitas bisa dikenakan sanksi disiplin dan sanksi pidana. Dalam konteks pidana, keterlibatan ASN dalam kegiatan politik praktis, termasuk mendukung calon kepala daerah, memiliki dasar hukum yang dapat dikenai sanksi pidana terutama jika tindakan itu menyalahgunakan wewenang atau mengganggu proses demokrasi yang netral dan jujur,” jelasnya.
Dikatakan Erpan, tindakan intimidasi untuk memengaruhi pilihan seseorang atau menyalahgunakan wewenang dalam pilkada dapat dikenai sanksi pidana. Undang-undang No.10 tahun 2016 tentang pilkada pasal 188 ASN yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 bulan paling lama 6 bulan,
“Begitu juga bagi tim pemenangan pilkada yang melibatkan ASN diatur pula sanksi dalam Undang-undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 494 mengatur sanksi pidana bagi Bagi pihak yang melibatkan ASN baik sebagai pendukung maupun tim sukses, dengan ancaman pidana 1 tahun. Pasal 280 mengatur sanksi pidana pelarangan ASN melakukan perbuatan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu selama masa kampanye, termasuk melalui media sosial atau tindakan lainnya,” terang Erpan.
Selanjutnya, kata Erpan, di KUHP pasal 421 disebutkan, bahwa pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk menguntungkan atau merugikan orang lain, termasuk dalam proses pemilihan, dapat dikenai pidana penjara 2 tahun 8 bulan, pasal ini dapat diterapkan jika ASN menggunakan jabatannya untuk kepentingan politik praktis.
Ia menyampaikan, pegawai honorer yang merasa terintimidasi atau dipaksa untuk mendukung pihak tertentu harus berani melaporkan kejadian tersebut untuk memastikan bahwa proses pilkada berjalan sesuai prinsip demokrasi yang adil dan bebas, tidak perlu takut karena Bawaslu sendiri memiliki mekanisme untuk melindungi saksi dan pelapor yang melaporkan pelanggaran Pilkada, termasuk intimidasi.
“Pelapor dapat memberikan informasi secara rahasia untuk melindungi identitas mereka, pasal 442 UU PEMILU menyebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui adanya tindak pidana pemilu berhak melaporkannya. Dalam konteks ini Bawaslu dapat memberikan perlindungan terhadap palapor jika terdapat potensi ancaman. Karena pelapor atau saksi yang memberikan informasi terkait tindak pidan pemilu memiliki hak untuk mendapat pengamanan dan perlindungan dari bawaslu ataupun pihak terkait,” bebernya.
“Bawaslu, sebagai pengawas pemilu, memiliki kewenangan untuk merekomendasikan tindakan hukum atas pelanggaran pidana oleh ASN dalam kampanye politik, jika ditemukan bukti kuat, Bawaslu dapat meneruskan kasus tersebut ke aparat penegak hukum untuk diproses sesuai ketentuan pidana,” imbuhnya.
Erpan yang juga saat ini menjabat sebagai Sekjen organisasi Advokat di Kabupaten Kuningan, meminta agar Bawaslu dan Gakumdu segera untuk melakukan penyilidikan terkait intimidasi yang dilakukan oleh salah satu tim pemenangan tersebut. Hal ini supaya isu yang dilemparkan Bawaslu ini tidak menjadi bola liar.
Ia juga mengatakan, bahwa intimidasi ini merupakan delik umum/delik biasa bukan delik aduan, yang dapat diartikan tindakan intimidasi dapat diproses hukum tanpa harus ada laporan atau aduan dari korban.
“Bawaslu dapat memproses kasus intimidasi berdasarkan bukti atau temuan mereka sendiri tanpa menunggu korban untuk melaporkan. Karena intimidasi sendiri dalam konteks Pilkada maupun pemilu merupakan perbuatan yang melibatkan kepentingan publik yang dapat merugikan atau membahayakan system demokrasi,” pungkas Erpan. (Abel)