Oleh : Lia Awaliyah (Mahasiswi Majalengka)
Hubungan antara Amerika Serikat dan Israel kerap digambarkan sebagai aliansi strategis yang tak tergoyahkan, terutama di bawah kepemimpinan Donald Trump dan Benjamin Netanyahu. Selama masa jabatannya, Trump bahkan menjadi presiden AS paling pro-Israel dalam sejarah, dengan kebijakan kontroversialnya yaitu mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mendukung Israel menguasai wilayah Palestina secara paksa. Namun, di balik kemesraan politik itu, ternyata tersimpan kepentingan sempit yang sewaktu-waktu bisa saling bertabrakan. Fakta ini terungkap ketika Donald Trump secara terbuka memutus hubungan dengan Netanyahu karena merasa dimanipulasi oleh Perdana Menteri Israel tersebut.
Dalam laporan Tempo.co, Trump menilai bahwa Netanyahu telah gagal menyampaikan peta jalan konkret terkait isu Iran, kelompok Houthi di Yaman, serta konflik Gaza yang kian memburuk. Trump bahkan merasa bahwa Netanyahu hanya memanfaatkannya demi kepentingan internal Israel, tanpa memberi keuntungan balik yang sepadan bagi AS, terutama menjelang Pemilu Presiden AS 2024 (www.tempo.co 09/05/2025). Sumber lain dari Khazanah Republika mengungkapkan bahwa keretakan hubungan ini sebenarnya sudah tercium lama. Meski di depan publik keduanya tampak kompak, nyatanya masing-masing punya agenda politik domestik yang kerap berbenturan, apalagi ketika popularitas pribadi jadi pertimbangan utama (khazanah.republika.com).
Keretakan ini menjadi bukti nyata bahwa persatuan para musuh Islam sejatinya rapuh. Mereka bersatu bukan karena kesamaan ideologis atau moral, melainkan hanya karena kepentingan sesaat dalam membendung kebangkitan Islam. Ketika kepentingan itu tidak lagi sinkron, maka aliansi yang tampak kokoh pun mudah retak. Inilah yang digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena mereka kaum yang tidak mengerti.”
(QS. Al-Hasyr: 14)
Ayat ini menyiratkan bahwa kekuatan musuh-musuh Islam hanyalah ilusi yang disatukan oleh rasa takut terhadap Islam, bukan oleh prinsip yang kokoh.
Umat Islam harus mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Jangan sampai umat merasa kecil di hadapan kekuatan musuh yang tampak besar, padahal mereka sejatinya rapuh dan terpecah belah. Yang lebih penting adalah membangkitkan kesadaran bahwa kekuatan umat Islam jauh lebih besar jika dibangun di atas landasan akidah Islam. Sejarah membuktikan bahwa ketika umat bersatu dalam iman dan perjuangan yang terarah, maka kekuatan imperium besar sekalipun bisa ditumbangkan. Namun kesadaran ini tidak akan tumbuh tanpa adanya bimbingan dari jamaah dakwah yang menyeru kepada Islam ideologis.
Jamaah dakwah inilah yang harus menuntun umat untuk menapaki jalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW: membangun umat, menyatukan visi politik Islam, dan pada akhirnya menegakkan Khilafah sebagai institusi kepemimpinan umat sedunia. Khilafah bukan sekadar solusi politik, tetapi perisai bagi kaum Muslimin yang terzalimi, dan alat untuk membebaskan negeri-negeri Islam yang terjajah, termasuk Palestina. Ketika musuh Islam mulai saling meninggalkan, saatnya umat Islam kembali kepada kekuatan aslinya, Islam sebagai ideologi hidup dan pemersatu umat.
