banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250
banner 728x250

Badan Kehormatan DPRD Kuningan: Benteng Etika atau Benteng Tikus?

Badan Kehormatan DPRD Kuningan: Benteng Etika atau Benteng Tikus?

Bingkaiwarta, KUNINGAN – Tahun ini menjadi babak penting – sekaligus ujian berat – bagi Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Kuningan. Lembaga internal yang selama ini digadang-gadang sebagai benteng marwah DPRD kini kembali menjadi sorotan tajam publik.

Bukan tanpa sebab. Gelombang laporan dugaan pelanggaran etika kembali membanjiri meja BK, dengan pola yang nyaris serupa: relasi kuasa, relasi asmara, dan hobi merendahkan perempuan. Kalau ini sinetron, judulnya sudah pasti “Politisi dan Cinta Terlarang: Season 5”.

banner 728x250

Pasca berhasil menuntaskan kasus Saudara R yang berujung pada PAW (Pergantian Antar Waktu), BK sempat dapat pujian publik. Saat itu langkah tegas BK menyelamatkan DPRD dari noda moral yang muncul di masa seratus hari kerja, di saat mereka dituntut menorehkan prestasi – bukan malah menorehkan aib.

Kini, kasus T kembali mengguncang publik, membongkar luka lama kasus S. Polanya sama: muncul di ranah etik, mencuat di ranah publik, lalu rawan dikubur kabut politisasi dan loyalitas partai.

Setelah mahasiswa bersuara, kritik muncul dari masyarakat sipil, aktivis, hingga tokoh masyarakat yang mempertanyakan konsistensi dan nyali BK. Beberapa suara bahkan menyebut BK “ciut nyali” jika berhadapan dengan elite partai. Bukannya jadi benteng, malah jadi tembok kamuflase – keras di luar, kopong di dalam.

Faried Arief, aktivis dan salah satu pendiri Aliansi Persaudaraan Islam Kuningan (APIK), menegaskan:

“Kami bukan sedang mempermasalahkan status nikah siri. Tapi sikap pejabat publik yang mempermainkan martabat perempuan, lalu berlindung di balik kemasan agama. Ini pengkhianatan besar terhadap etika dan moralitas publik,” tegas Faried, Kamis (3/7/2025).

Ia menambahkan, BK harus berani.

“Jangan sampai ada kesan, kalau yang bersalah itu elite partai besar, prosesnya diperlambat atau dibekukan. Kita kawal terus, karena ini menyangkut martabat institusi DPRD,” tambahnya.

Publik tak menuntut sensasi. Publik menuntut transparansi. Sudah jadi SOP di banyak DPRD, laporan dugaan pelanggaran etik wajib melalui tahapan jelas: dari mulai penerimaan pengaduan oleh Ketua DPRD, disposisi ke BK, pemeriksaan pendahuluan, klarifikasi dan verifikasi, hingga sidang BK dan keputusan.

Faried mengingatkan, tahapan ini wajib disampaikan secara terbuka. Diamnya BK menimbulkan kecurigaan. Lagi pula, dalam era politik yang terhubung media sosial, diam bukan emas – diam itu bumerang.

“Masyarakat sekarang tidak bisa lagi dibohongi. Transparansi BK itu harga mati. Jangan tunggu tekanan publik baru gerak. Kalau tidak independen, lebih baik bubar!” tegasnya.

Publik tak sedang mengadili nikah siri para politisi. Yang jadi sorotan adalah sikap pejabat publik terhadap perempuan, apalagi jika perceraian dilakukan demi menyelamatkan citra politik, bukan alasan syar’i.

“Ini bukan lagi soal ranah privat. Ini soal moralitas dan etika publik. Karena anggota dewan sejak disumpah bukan lagi milik pribadi atau partai – tetapi milik rakyat,” tandasnya.

Sudah waktunya BK mengambil sikap independen, membuktikan bahwa mereka masih layak disebut “benteng kehormatan DPRD” – bukan “benteng tikus” tempat para pelanggar moral bersembunyi di balik jeruji partai.

Langkah tegas BK di kasus R harus menjadi standar minimum dalam kasus serupa. Jangan sampai keputusan tegas dulu hanya jadi pencitraan sementara, sementara pelanggaran sekarang ditangani dengan kompromi politik.

Partai politik pun harus menunjukkan tanggung jawab moral. Jika memang mau menjadi rumah demokrasi bersih, jangan jadikan partai sebagai safe house bagi kader bermasalah.

Era ketika publik mudah diarahkan atau dibungkam telah berlalu. Masyarakat kini melek politik, sadar etika, dan siap mengawal marwah demokrasi lokal. Mereka bukan hanya menunggu hasil, tetapi ingin tahu prosesnya.

“Badan Kehormatan DPRD Kuningan harus menjawab tantangan ini. Menjadi benteng bukan berarti berdiam di balik tembok, tapi berdiri di depan saat nilai-nilai DPRD dirongrong oleh kelakuan anggotanya sendiri,” tutup Faried.

Jika tidak, sejarah akan mencatat: ketika rakyat menaruh harap pada BK, yang muncul hanya bungkam dan takut. (Abel)


banner 336x280
banner 336x280

Tinggalkan Balasan