Oleh: Resa Ristia Nuraidah
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) fokus menstabilkan harga beras di 214 kabupaten/kota yang naik di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Dalam paparannya, Tito mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) kenaikan harga beras di 214 kabupaten/kota pada periode minggu keempat Agustus 2025.
“Pemerintah kita akan fokus minggu ini mungkin di 214 [daerah] itu,” tutur Tito dalam Rakor Inflasi di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Selasa (2/9/2025).
Tito mengatakan data 214 kabupaten/kota tersebut akan diberikan kepada Bapanas, Perum Bulog juga Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Agar program pemerintah dalam stabilisasi harga pangan ini difokuskan pada daerah-daerah tersebut.
Saat ini instrumen pemerintah untuk meredam tingginya harga beras dengan cara membanjiri beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) juga bansos beras 10 kg di pasar.
Dia menilai langkah mengguyur pasar dengan SPHP efektif menekan harga beras di sejumlah daerah menurun. Dengan demikian ada peningkatan jumlah kabupaten/kota yang mengalami penurunan harga beras. [Kumparan.com]
Penyaluran beras SPHP dilakukan untuk menurunkan harga beras, tapi upaya ini gagal. Penyaluran beras SPHP ini sangat tidak optimal. Di sisi lain, bantuan pangan beras terancam dihapus karena tidak ada anggaran. Anggarannya dialihkan ke beras SPHP. Rakyat miskin diarahkan untuk beli beras SPHP, tidak mendapatkan bantuan beras gratis seperti selama ini.
Kemudian juga fakta dari kualitas beras SPHP banyak dikeluhkan sehingga masyarakat enggan membelinya meski relatif lebih murah. Toko ritel juga enggan menjual beras SPHP karena kurang peminat untuk membelinya.
Mimpi swasembada beras tidak sejalan dengan tingginya harga beras. Stok yang melimpah menjadi ironi ketika harga beras mahal. Beras akhirnya menumpuk di gudang Bulog. Bulog mengalami “obesitas” sehingga beras yang disimpan lama rawan mengalami penurunan kualitas.
Langkah stabilisasi harga beras dengan bertumpu pada beras SPHP tidak efektif karena persoalan harga beras bersifat sistemis, yaitu terkait tata kelola perberasan nasional dari hulu hingga hilir. Lembaga Bulog sendiri bermasalah dari sisi tata kelola sehingga berasnya menumpuk di gudang.
Praktik oligopoli dalam tata niaga beras berperan besar mengerek harga beras. Jika ini tidak diselesaikan, harga beras tetap tinggi. Negara dalam sistem kapitalisme hanya menjadi regulator. Pemerintah tidak menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat. Negara hanya memastikan stok aman, padahal harga beras tinggi karena buruknya distribusi.
Dalam Islam, imam adalah raa’in yang wajib memastikan ketersediaan pangan (beras) di masyarakat dengan harga terjangkau hingga sampai ke tangan konsumen (rakyat), bukan hanya stok di gudang atau pasar.
Sistem Islam akan membenahi jalur distribusi beras dari hulu hingga hilir dan memastikan tidak ada praktik yang haram dan merusak distribusi, seperti oligopoli.
Islam tidak fokus pada menjual beras saja, tetapi menjalankan solusi sistemis mulai dari produksi, penggilingan, hingga distribusi ke konsumen. Bagi masyarakat miskin, negara bisa melakukan pemberian bantuan beras gratis. Anggaran akan selalu ada dari baitulmal. Karena pemasukan negara akan sangat banyak dari pengelolaan sumber daya alam yang ada di bumi ini.
Dalam islam, swasembada beras dengan harga terjangkau ini akan terwujud nyata, bukan hanya PHP seperti yang terjadi di sistem kapitalis hari ini. [Wallahu a’lam bi Ash-shawāb]
