Oleh : Drs. D. Rusyono, M.Si (Mengajar pada UBHI & Anggota Juken Kuningan)
Tulisan ini diawali dengan sebuah untaian pepatah yang simple tetapi cukup bijak dan menyejukan yaitu “Jadilah manusia yang bermanfaat, yang kehadirannya dirindukan orang” (Emha Ainun Najib). Ungkapan tersebut cukup sederhana dan mudah serta enak dibaca, tetapi maknanya sangat dalam serta akan sulit diamalkan apabila qalbu/hati tidak mendukungnya secara tulus/ikhlas.
Secara antroposfer kehidupan akan terus bergulir seiring dengan masih berdiri tegaknya bumi ini, dan menjalani kehidupan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri, artinya suka tidak suka sepanjang hanyat dikandung badan akan terus dijalani/diikuti.
Seseorang akan ringan-ringan saja menjalaninya manakala mampu mengikuti aturan yang harus dimainkan secara ikhlas, serta sebaliknya akan menjadi berat manakala dijalani dengan tidak ikhlas, artinya ada unsur-unsur yang melenceng dari aturan yang menyangkut kewajiban dan hak, sehingga tidak jarang menimbulkan ketidaksukaan yang berujung dengan kekecewaan. Terlepas itu semua peran yang dimainkan sudah barang tentu akan bersentuhan dengan HAM, hubungan antar manusia.
Berbicara hubungan antar manusia (HAM), maka tidak lepas dari pilar kehidupan yang salah satunya adalah komunikasi, yakni dua sisi peran yang dimainkan, dalam Ilmu Komunikasi disebut pihak Komunikator dan Komunikan. Dalam sebuah proses komunikasi tentu saja disamping ada yang dilontarkan atau disampaikan yang disebut dengan pesan (message) dan ada reaksi atau feedback serta unsur-unsur yang lainnya.
Dalam komunikasi sendiri (tentu saja komunikasi yang baik) pada dasarnya adalah untuk menyamakan persepsi/pandangan antara pihak komunikator dan komunikan tentang suatu isu/ide/pesan, ibarat dua buah lingkaran yang dipertemukan, maka secara bertahap akan membentuk ruang temu di tengah, disitulah keberhasilan akan diuji yaitu apabila semakin besar ruang temunya maka komunikasi semakin berhasil, sedang yang dipertemukan akan dipengaruhi oleh aspek frame of reference dan field of exferience atau kerangka pikir dan kerangka pengalaman (Riyono Pratikto, 1980).
Begitu pula halnya dengan kausalitas tidak lepas dari proses komunikasi, sebagai mkhluk sosial (homo sapiens) tentu manusia yang satu dengan yang lain akan saling berinteraksi guna memenuhi kebutuhannya, baik interaksi secara kewilayahan yakni dengan lingkungan maupun interaksi antar manusianya, yang didalamnya tentu ada hal yang disampaikan baik dalam bentuk verbal/kata/bahasa maupun perilaku dimana pada gilirannya akan menjadi sebuah kausalitas dalam bentuk sebab akibat atau aksi reaksi.
Kausalitas sendiri dalam beberapa pengertian antara lain ; secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu causality dan bahasa Latin causa yang berarti sebab. Jadi bagaimana suatu peristiwa menyebabkan peristiwa yang lain. Jadi kausalitas pada dasarnya merupakan kata hubung antara sebab dan akibat, sehingga harus mematuhi rambu-rambu etika baik dalam lisan, tulisan maupun perbuatan. Sedangkan secara vocabulary kausalitas adalah merupakan hubungan antara sebab dan akibat/konsekuensinya dalam sesuatu hal yang bersifat konjungsi naratif yakni kata-kata yang menegaskan akibat suatu sebab seperti jika, untuk, bila dan kalau, kemudian dalam kesimpulan dengan kata jadi, demikian, sehingga, maka dan oleh sebab itu (Ayu Rifka Sitoresmi, 2022).
Kausalitas juga merupakan suatu hubungan atau proses antara dua atau lebih kejadian/keadaan dari suatu peristiwa, dimana satu faktor menimbulkan faktor lain (AZ Abidin dan Andi Hamzah, 2010). Pengertian lain tentang kausalitas adalah perihal sebab akibat atau kausal, disini mengacu pada hubungan antara sebab dan akibat dari suatu peristiwa/keadaan, dan kausalitas juga menyangkut aspek cara berfikir (KBBI, 2022).
Adapun kausalitas dalam bidang hukum adalah sebagai prinsip sebab akibat, yang menjelaskan bahwa suatu peristiwa atau tindakan (sebab) selalu dapat menyebabkan atau memengaruhi peristiwa atau hasil lainnya (akibat). Dalam konteks hukum (khususnya pidana) kausalitas digunakan untuk menentukan hubungan antara perbuatan terdakwa dan akibat yang terjadi, sehingga dapat diketahui siapa yang bertanggung jawab atas akibat tersebut, didalamnya mengandung unsur sebab (causa) yaitu tindakan/peristiwa awal yang memberikan pengaruh, dan unsur akibat (effect) yakni hasil atau konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebab (Nafiatul, 2024).
Sedangkan Kausalitas dalam Agama (Islam) dikenal dengan istilah sunnatullah, yakni menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta dan dalam kehidupan manusia tidak terjadi secara kebetulan, melainkan terjadi sebagai dari sebab-sebab tertentu tetapi tunduk kepada kehendak dan kekuasaan Allah, hanya saja manusia diperintahkan untuk berikhtiar secara maksimal (sebagai sebab), namun tetap bertawakal dan sadar akan hasil akhir (akibat) sepenuhnya milik/kehendak Allah.
Sebagaimana yang difirmankan Allah “Maka siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (QS Az-Zalzalah, 99 : 7). Begitu pula pada ayat 8 “barang siapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. Jadi pada dasarnya kausalitas dalam Islam itu lebih bersifat mutlak dalam dua sisi yaitu baik-buruk, pahala-siksa atau pahala-dosa dengan kata barang siapa dan maka.
Selanjutnya sebuah peribahasa menyebutkan bahwa lisan/ucapan lebih tajam daripada pedang, artinya ucapan/kata-kata dapat melukai seseorang jauh lebih dalam serta lebih lama terasa daripada luka fisik yang disebabkan oleh pedang. Bahkan Nabi Muhammad bersabda diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal sebagai berikut “Wahai Mua’dz, celaka engkau, tidakah manusia dijatuhkan ke dalam neraka karena wajah atau hidungnya, melainkan karena ucapan lisan mereka? (HR Tirmidzi).
Disamping ucapan/lisan juga yang menyebabkan kausalitas diantaranya adalah sifat arogan/sombong dan hedonisme termasuk didalamnya merendahkan orang lain dan sifat buruk lainnya dan sebagainya yang menyebabkan seseorang lupa akan dirinya. Sombong termasuk didalamnya arogan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain (HR Muslim), sedangkan hedonisme adalah kesenangan/kenikmatan materi, sehingga kemewahan menjadi tujuan utama hidup. Oleh karena itu kesombongan dan hedonisme menjadi dua sisi yang saling mempengaruhi.
Pengendalian diri sebagai kata kunci.
Tanpa bermaksud mengingat-ingat kembali peristiwa yang baru saja terjadi di negeri ini, tetapi hanya sekedar saling mengingatkan/nasehat dalam kebaikan dan kesabaran, maka apa yang tengah menimpa negeri kita NKRI yang kita cintai dengan harga mati, adalah akibat lepasnya control diri dari menjaga lisan yang berbanding lurus dengan aspek ikutannya adalah kondisi sosial ekonomi yang hedonis, sehingga ucapan dan sifat perilaku pun menjadi superior, sehingga tidak lagi ingat akan asal usul diri ketika memohon peran bantu orang lain.
Pengendalian diri termasuk menjaga lisan dan perbuatan, tidak lain terkandung maksud sebagai bentuk/tanda keimanan kepada Allah Swt., kemudian juga untuk keselamatan di dunia dan akhirat, serta menghindarkan diri dari dosa. Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai berikut “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata baik atau diam” (HR Bukhari Dan Muslim).
Menyikapi fenomena saat ini dengan tanpa bermaksud menjustice ataupun subyektif lainnya tetapi sekedar ungkap rasa dan saling mengingatkan/menasehati dalam kebaikan dan kesabaran dari sesama rakyat Indonesia yang mencintai NKRI yang baldatun thoyibattun warobbun ghofur tidak ada salahnya kita simak kembali peristiwa yang terjadi tempo hari untuk sama-sama kita sikapi dengan arif bijaksana, karena sebetulnya kejadian tersebut tidak perlu terjadi apabila dari semua pihak bisa menahan diri, mengendalikan nafsu (lisan maupun sikap-perilaku) terutama dari beberapa oknum elit yang menimbulkan sebab, sehingga sampai menimbulkan akibat yang tidak diharapkan, meskipun dari sisi akibatpun sangat disayangkan sampai terjadi pengrusakan pada beberapa sarpras penting yang nota bene milik seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
Atas hal tersebut, yang sudah terjadi biarlah berlalu sejarah akan mencatatnya sebagai bahan referensi bagi anak cucu, kemudian pihak-pihak yang terkait di dalamnya biarlah menanggung resikonya melalui pertanggungjawaban pribadi/kelompok, disertai harapan tidak terjadi lagi di masa datang. Tetapi guna menyongsong masa depan yang lebih baik kiranya tidaklah berlebihan apabila kita selaku umat yang beriman, kembali ke khittah, semangat kedamaian, rukun berdampingan, sesuai tuntunan aturan negara maupun agama antara lain melalui Al-Qur’an sebagai pedoman hidup (sebagaimana disampaikan oleh Pangdam III/Siliwangi dalam menyikapi gerakan demo massa beberapa hari yang lalu, sungguh sikap yang luar biasa dari seorang Mayjen TNI Kosasih sosok pemimpin yang mumpuni.
Secara khusus mari kita perhatikan QS Al-Baqarah ayat 40 yang artinya “Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu. Hanya kepada-Ku hendaknya kamu takut”.
Dari kandungan Al-Baqarah : 40 tersebut terkandung maksud bahwa kita harus senantiasa terus bersyukur akan nikmat Allah yang tiada terhingga, kemudian jangan suka berdusta dan ingkar janji, karena sekali dusta maka akan terus berdusta, jangan pula sombong dan arogan, kata maaf mudah diucap tapi luka hati sulit diobati, seorang yang amanah harus berani karena benar dan takut karena salah, Ingat kehormatan dan kemuliaan hanya milik umat yang taat dan dibalik sebuah keberhasilan terdapat peran/bantuan orang lain, artinya tidak akan ada pemimpin kalau tidak ada rakyat yang memilihnya, jadi kedaulatan mutlak milik rakyat, jangan sekali-kali menyakiti rakyat, karena rakyat akan meminta tanggung jawab.
Jadi kausalitas akan selalu hadir ditengah kehidupan, yang penting bagaimana mengendalikannya agar tidak menjadi rugi/celaka. Yang sudah biarlah menjadi bagian sejarah, semoga ke depan tidak terulang. Berbaiklah dengan rakyat karena masa depan akan didapat. Aamiin !
