Pendidikan anak Indonesia haruslah diperhatikan dengan seksama, karena kelak akan mengisi peradaban suatu bangsa. Tak heran diperlukan para pendidik yang profesional, dengan bercirikan memiliki kompetensi, mendapatkan kesejahteraan, perlindungan, dan passion (benar-benar menyukai menjadi guru). Dan di Indonesia banyak sekali orang yang ingin menjadi guru karena iming-iming kesejahteraan, namun ternyata tak seperti itu.
Faktanya, banyak tenaga pendidik Indonesia yang notabene-nya masih berstatus guru honorer. Data menyebutkan ada sekitar 83,2 persen berstatus non pegawai negeri sipil/honorer dari PAUD hingga menengah. Artinya, pendidilan di Indonesia bertumpu pada guru honorer. Nampak, di daerah pelosok lembaga pendidiknya dipenuhi guru honorer daripada yang berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara).
*Nasib Guru Honorer*
Ironis. Guru honorer biasanya memiliki pekerjaan yang hampir sama dengan guru tetap. Tetapi, adakalanya porsi mengajarnya dalam satu bulan bisa sampai 30 jam. Tugasnya saja tak tanggung-tanggung, mereka tak hanya mengajar sebagai tugas pokok, tetapi ada tambahannya seperti administratif, akreditasi, asesmen, pelatihan kompetensi guru, dan berbagai kegiatan diluar kegiatan belajar mengajar seperti menjadi pembina ekstrakurikuler. Padahal gaji yang diterima tak seberapa, hanya Rp 300.000 – Rp 1.500.000 dalam satu bulan.
Oleh karena itu, harapan pun muncul. Tenaga pendiidik yang sudah mengabdi bertahun-tahun sangat berharap bisa diangkat menjadi ASN atau setidaknya PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Tetapi sayang seribu sayang, persyaratan yang diajukan terlalu belibet, hasilnya banyak yang tak lolos.
Tahun ini, pemerintah mengeluarkan terobosan baru bagi guru honorer yang ingin menjadi ASN. Yaitu dengan mengikuti tes Pendidikan Profesi Guru (PPG). Karena, tes seleksi ini menjadi lebih mudah dan ringkas untuk bisa diangkat menjadi pegawai resmi pemerintah. Memang terasa mudah, tetapi tetap akan sulit bagi peserta yang usianya sudah tua, akan kalah dengan yang lebih muda. Nampak dari daya ingat, dan analisa kiritikalnya.
Walhasil, fenomena ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan cerminan dari sistem yang gagal menempatkan guru pada posisi terhormat sebagaimana mestinya. Dimana, permasalahan utamanya bukan semata akibat kurangnya dana negara, tetapi bersumber dari paradigma kapitalistik dalam sistem pendidikan. Dalam sistem ini, tenaga pendidik yang statusnya honorer dipandang sebagai “tenaga kerja murah” yang bisa diganti dan diatur sesuai kebutuhan anggaran, bukan sebagai pendidik generasi penerus peradaban.
Negara tidak memandang pendidikan sebagai amanah mulia, melainkan sebagai “beban biaya” yang harus ditekan seminimal mungkin. Akibatnya, profesi guru kehilangan martabatnya, dan dunia pendidikan kehilangan ruhnya. Dampaknya output para siswa pun tak memiliki adab, dan tidak paham ilmu.
*Solusi Islam*
Islam merupakan agama yang paripurna. Dimana guru dipandang sebagai pengemban misi suci dalam membentuk manusia yang berilmu dan bertakwa. Karenanya, Islam menjamin penghargaan dan kesejahteraan mereka dengan mekanisme yang adil dan terstruktur.
Islam menawarkan solusi fundamental untuk menyejahterakan para guru. Yaitu, menyerahkan pendidikan dibawah tanggung jawab negara secara penuh, bukan dibebankan pada individu atau lembaga swasta. Negara wajib menggaji guru dari baitul mal (kas negara) dengan jumlah yang layak dan cukup untuk kebutuhan hidup mereka.
Tak hanya itu, slam menanamkan kesadaran bahwa mengajar adalah amal mulia, dan negara wajib menghormati serta memfasilitasi peran guru agar lebih maksimal. Tak lupa, penerapan sistem ekonomi Islam yang berkeadilan, yang menjadikan sumber daya alam dan harta milik umum akan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, termasuk membiayai pendidikan. Hasilnya guru tidak akan terombang-ambing nasibnya, tetapi jelas kesejahteraannya. Wallahu’alam bishshawab.














