Oleh: Resa Ristia Nuraidah
Fenomena pengoplosan bahan pangan kembali menyeruak, di mana makanan pokok masyarakat yang menjadi sasaran. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar bahkan sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitasnya menipu.
Hal ini menjadi sebuah keprihatinan serius di sektor pangan nasional. Temuan tersebut merupakan hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan yang menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu.
Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan “5 kilogram (kg)” padahal isinya hanya 4,5 kg. Lalu banyak di antaranya mengklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa. [Kompas.com]
Kecurangan beras baik dalam timbangan dan kualitas/jenis sudah terjadi beberapa waktu ini. Masyarakat dan negara menderita kerugian besar. Mirisnya pelakunya adalah perusahaan besar, dan negara sudah memiliki regulasi terhadapnya.
Praktek kecurangan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan yang jauh dari aturan agama. Semuanya demi keuntungan, bahkan hingga menghalalkan yang haram dan melanggar regulasi. Hal yang dianggap biasa dalam sistem sekuler kapitalisme saat ini.
Berlarutnya persoalan ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan juga sistem sanksi. Juga erat kaitannya dengan sistem Pendidikan yang gagal mencetak individu yang Amanah dan bertakwa.
Selain itu juga ketidakhadiran peran negara dalam mengurusi pangan, karena pengelolaan hulu ke hilir dikuasai oleh korporasi yang orientasinya bisnis. Penguasaan negara terhadap pasokan pangan tidak lebih dari 10%, sehingga tidak punya bargaining power terhadap korporasi. Hal ini berimbas pada pengawasan dan penegakan sanksi.
Sangat jauh berbeda dengan Islam. Bagi pejabat atau penguasa, Islam mengharuskan mereka Amanah dan juga bertanggungjawab dalam menjaga tegaknya keadilan. Apalagi penguasa adalah pelayan rakyat, sebagai rāin dan junnah bagi rakyatnya. Maka kewajiban mereka adalah menjaga setiap kebutuhan rakyatnya.
Dalam Islam tegaknya aturan didukung oleh tiga hal. Yang pertama ketakwaan individu. Masyarakat akan memiliki ketakwaan individu yang akan menjadikan mereka senantiasa berada dalam koridor hukum syara’ serta terikat dengan hukum-hukumnya. Kemudian yang kedua yaitu kontrol masyarakat. Dalam hal ini amar ma’ruf nahiy munkar akan senantiasa berjalan di tengah-tengah masyarakat. Dan yang ketiga yaitu tegaknya aturan oleh negara yang akan terwujud dengan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan jika ada yang melanggar. Islam juga memiliki qadi hisbah yang akan memeriksa dan memastikan regulasi terkait hal ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan.
Islam juga menetapkan negara harus hadir secara utuh untuk mengurusi pangan mulai produksi kemudian pendistribusiannya hingga sampai dikonsumsi oleh rakyat. Bukan hanya memastikan pasokan tersedia, namun juga mengurusi rantai tata niaga sehingga tidak terjadi kecurangan seperti ini serta konsumsi untuk memastikan pangan benar-benar sampai kepada seluruh ind rakyat. [Wallahu a’lam bi Ash-shawāb]














