Oleh: Resa Ristia Nuraidah
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 4 Februari 2025. Dari beberapa pokok perubahan, kemunculan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (disebut sebagai Danantara) menjadi hal yang paling disorot oleh publik dan media.
Padahal terdapat beberapa pokok perubahan lainnya yang diatur dalam perubahan ketiga atas UU BUMN, mulai dari ketentuan umum BUMN, ketentuan pembentukan anak perusahaan, prinsip perlindungan atas keputusan direksi (business judgement rule), pengelolaan aset, afirmasi SDM/karyawan, aksi korporasi, privatisasi, pengawasan, hingga tanggung jawab sosial BUMN khususnya kepada UMKM.
Danantara berawal dari cita-cita Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, ayahanda Presiden Prabowo Subianto. Sang Begawan Ekonomi berpendapat bahwa jika BUMN memberikan 1-5 persen labanya untuk dikelola oleh suatu badan investasi yang akan membeli saham perusahaan swasta, maka keuntungan dari saham berupa deviden maupun keuntungan penjualan saham akan digunakan untuk membantu ekonomi masyarakat.
Konon berawal dari cita-cita (ambisi) tersebut, maka Presiden Prabowo menggunakan deviden BUMN, yang sedianya disetor ke kas negara sebagai PNBP, dialihkan menjadi investasi pemerintah di Danantara. Sekaligus menginvestasikan dana hasil efisiensi APBN pada Danantara. [Money.Kompas.com]
Desain ekonomi yang nampaknya sedang disiapkan adalah konsep Kapitalisme negara dengan mengusung ekonomi kerakyatan namun dengan tidak melepaskan oligarki yang telah menjadi timses nya. Maka pembentukan Danantara adalah langkah untuk optimalisasi modal dan aset BUMN seperti halnya Cina dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Maka aktor yang menikmati Danantara adalah para oligarki seperti yang terlihat dari jajaran petinggi danantara.
Modal raksasa ini meruapkan uang rakyat, yang akan dipertaruhkan dalam persaingan bebas global. Mulai dari penarik investasi asing maupun sebagai modal investasi Indonesia di luar negeri. Atau investasi di program prioritas pemerintah seperti hilirisasi minerba dan sawit. Maka uang danantara akan dinikmati oleh para oligarki minerba dan sawit agar mereka bisa semakin melakukan ekspansi bisnisnya di pasar global. Jika investasi gagal, maka uang rakyat hilang dan tak mungkin kembali.
Islam memberikan tuntunan tentang konsep kepemilikan yang terdiri dari kepemilikan individu, kepemilikan Negara, dan kepemilikan umum beserta cara pengelolaannya.
Islam memiliki sistem ekonomi yang telah menentukan tatacara pengelolaannya serta siapa yang berhak mengelola, juga hasilnya untuk siapa saja. Semuanya jelas di dalam Islam. Tentu akan sangat berbeda dengan sistem Kapitalis yang saat ini diterapkan di negara kita yang selalu menguntungkan oligarki serta mengorbankan rakyat. Salah satunya danantara ini yang merupakan ambisi dari pemimpin dan rakyat menjadi korbannya.
Dengan sistem ekonomi Islam, maka kesejahteraan rakyat akan terwujud individu per individu. Penerapan sistem ekonomi Islam ini juga membutuhkan penerapan sistem politik Islam dan sistem lain sesuai dengan tuntunan Islam. Semua akan terwujud dalam bangunan Khilafah Islamiyah. [Wallāhu a’lam bi Ash-shawab].