Oleh Siti Rosyidah, S.H.I
Pagar bambu misterius yang berdiri di sepanjang perairan Tangerang, Banten belum kunjung mendapatkan penyelesaian, padahal keberadaannya sudah dilaporkan oleh warga kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten sejak Agustus 2024. Namun semua instansi baru bergerak ketika kasus ini mencuat ke publik pada akhir 2024. Pembangunannya telah mencaplok 16 desa di 6 kecamatan di wilayah pesisir. Menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), total wilayah yang masuk area pagar laut mencapai 537,5 hektar.
Keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 km itu telah merugikan warga karena mempersulit nelayan dan pembudidaya dalam mencari nafkah. Warga yang berprofesi sebagai nelayan yang terdampak sebanyak 502 orang. Sedangkan kerugian yang dialami menurut keterangan Ombudsman mencapai Rp 8 miliar.
Korporatokrasi
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Pung Nugroho Saksono menyatakan pemagaran laut tersebut ilegal jika merujuk izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Sebab pagar tersebut berada di Zona Tangkap dan Zona Pengelolaan Energi yang diatur dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang DKP Provinsi Banten. Mantan wakil ketua KPK, M. Jasin pun mengungkapkan di gedung KPK Jakarta pada tanggal 31 Januari, bahwa ada berbagai pelanggaran hukum di PIK 2. Diantaranya pelanggaran United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), bahwa daerah pesisir tidak bisa dikonversi menjadi hak pribadi, hak badan atau hak masyarakat. Juga melanggar UUD 45, undang-undang no. 31/1999 pasal 1 dan pasal 2 ayat 2 dengan tuntutan hukuman mati.
Meskipun kasus ini sudah jelas ada pelanggaran hukum, namun belum dapat dituntaskan. Saat ini pagar laut sudah dicabut oleh anggota TNI AL dipimpin oleh Danlantamal III Jakarta, Brigadir Jenderal (M yaar) Harry Indarto. Buntut dari kasus ini 6 pegawai ATR dicopot dari jabatannya dan 2 orang diberikan sanksi berat, serta sudah ditahannya 4 orang tersangka yaitu kepala desa Kohod sebagai tersangka utama, Sekdes Kohod dan 2 orang penerima kuasa palsu. Namun otaknya tidak tersentuh oleh hukum. Mahfud M.D, eks. Menkopolhukam menuding kepolisian, kejaksaan dan KPK takut menindak pejabat negara yang terlibat dalam kasus ini.
Praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik, Yus Dharman menyatakan, pemagaran laut merupakan kejahatan korporasi. Sayangnya para pejabat dari pusat, daerah hingga kelurahan hanya sibuk bersilat lidah dan saling melempar tanggung jawab. Alih-alih menjalankan tugas jabatannya malah menjadi agen para kapitalis yang menyengsarakan rakyat.
Menurut pengamat politik, Fatma Sunardi, adanya pihak swasta yang bisa menguasai laut diduga karena pengaruh oligarki lebih kuat mencengkeram negeri ini. Kebijakan dan implementasinya dengan mudah berpihak pada kepentingan segelintir konglomerat demi pengembangan bisnis mereka.
Berbagai kasus yang muncul terkait penjualan aset pesisir laut di berbagai tempat seperti di Bekasi, Bali, Surabaya, dan Makasar, menunjukkan kuatnya korporasi di lingkaran kekuasaan (korporatokrasi). Negara kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang. Bahkan aparat negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat, bekerja sama melanggar hukum negara membawa kemadaratan bagi rakyat dan mengancam kedaulatan negara.
Prinsip liberalisme dalam ekonomi kapitalisme membuka peluang terjadinya korporatokrasi. Dalam sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini, tidak ada salahnya swasta atau siapa pun memiliki harta, termasuk harta milik umum. Negara bertindak sebagai regulator agar kepemilikan itu sah. Negara tidak boleh melarang kepemilikan itu, bahkan negara harus menjamin agar lahan yang telah dikaveling -kaveling aman dan tidak diganggu oleh siapa pun karena sudah dilegalkan oleh negara, meskipun akibatnya rakyat sebagai pemilik yang sah harus kehilangan akses atas pengkavelingan tersebut.
Pandangan Islam
Apa yang terjadi sejatinya adalah buah dari penerapan sistem kapitalis yang tidak memiliki kejelasan kepemilikan. Berbeda dengan Islam, sedari awal hukum Islam telah mengklasifikasikan kepemilikan lahan dengan jelas dan adil yang berasal zat yang Maha adil, yakni: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Islam pun memberikan perlindungan atas semua kepemilikan ini.
Menurut penjelasan Syaikh As-Sa’di dalam kitab Taysiir al-karim al-rahman fii tafsir Al kalaam Al manaan, I/175, yang termasuk dalam ayat ini adalah tindakan mengambil harta dengan cara pencurian, perjudian, penghasilan yang buruk dan perampasan.
Menurut Syaikh Abdul Qadim ZallumZallum di dalam kitab Al Amwal fi Daulah al Khilafah menjelaskan, “Sesungguhnya laut, sungai, danau, teluk, kanal umum seperti terusan Suez , lapangan umum, masjid -masjid merupakan kepemilikan umum yang menjadi hak bagi setiap individu rakyat “. Sebab menjadi kepemilikan umum karena karakter pembentukannya yang mencegah individu untuk memilikinya.
Islam menetapkan kawasan laut sebagai milik umum sehingga tidak bisa dikuasai oleh individu atau perusahaan swasta. Negara tidak berhak menjual kawasan laut itu kepada individu atau korporasi, karena pada hakikatnya laut itu bukan milik negara tetapi milik seluruh kaum muslimin.
Area laut merupakan area yang dibutuhkan oleh banyak orang, antara lain untuk pelayaran kapal penumpang dan kapal barang, mencari hasil laut, dsb. Sabda nabi saw:
“Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api” (HR Ibnu Majah).
Dengan demikian, laut termasuk ke dalam hadits tersebut. Kawasan laut terbuka untuk siapa saja yang mau memanfaatkannya sebagaimana Mina yang diizinkan oleh Nabi Saw bagi siapa saja yang datang untuk menurunkan ibadah haji. Sabda Nabi Saw:
“Mina adalah tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dulu” (HR at -Tirmidzi).
Aktivitas memagari laut merupakan salah satu bentuk dari proteksi wilayah tertentu yang dalam Islam hanya boleh dilakukan oleh negara. Sebagaimana sabda nabi saw:”Tidak ada proteksi (hima) kecuali oleh Allah dan rasul-Nya” yaitu oleh negara. (HR. Abu Dawud).
Bila negara dalam kondisi ingin melakukan proteksi terhadap kepemilikan umum, maka tujuan proteksi ini hanya untuk kemaslahatan umum.
Dengan demikian tindakan memagari laut oleh selain negara hukumnya haram. Karena itu, aktivitas membatasi hak masyarakat untuk memanfaatkan kawasan laut adalah kezaliman.
Inilah kondisi ketika tidak ada lagi junnah, tidak ada sistem Islam yang menerapkan Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Berbagai masalah muncul termasuk ketidakjelasan dalam hal kepemilikan individu, umum maupun negara.
Syariah Islam yang agung ini tidak mungkin dapat diterapkan dalam sistem kapitalis yang menyengsarakan rakyat. Syariah Islam hanya akan terwujud dengan sempurna hanya dalam Sistem Islam.
Wallaahu a’lam bish shawab