Oleh : Ummu Nadiatul Haq
Film JKDN 2, yang tayang 20 Oktober 2021 bertepatan dengan bulan Maulid Nabi Muhammad Saw, Film dokumenter kelanjutan dari Film JKDN 1 tahun lalu memang efektif untuk menggambarkan sejarah yang sebenarnya. Sejarah yang selama ini terkaburkan dan terkuburkan diungkap secara apik dan jelas. Karena audio visual akan lebih mampu menjelaskan seperti ketika tatap muka, bukan membaca buku/literatur sendiri tanpa tahu latar belakang penulisnya. Mencerna dari membaca buku dan mengambil benang merah dari bacaan juga akan beda presepsi kalau tidak ada yang menjelaskan. Penonton film ini bisa tembus 359.971 dalam sehari sekali tayang, belum dihitung yang nonton bareng satu link yang di akses.
Di pelajaran sejarah di lembaga pendidikan kita hanya diajarkan untuk mempelajari sejarah sebatas historis saja, tanpa ada pemahaman bahwa sejarah inilah kisah bagaimana Islam pernah tegak berdiri dan bersatu dibawah naungan satu komando kepemimpinan Islam.
Di Film JKDN 1 yang tayang tahun 2020 sudah dijelaskan Islam datang ke Nusantara pada abad ke 7 dengan berimannya orang per orang. Saat itu sudah ada jalur perdagangan yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera.
Islam memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada pada tahun 100 H atau 718M, Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari khalifah Bani Umayyah meminta dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua 2 tahun kemudian yakni tahun 720M, raja yang semula Hindu, masuk Islam. Pada 1 Muharram 225H atau 12 November 839M Kesultanan Islam yakni Kesultanan Peureulak berdiri. Kemudian tahun 1440M Islam masuk ke kerajaan Ternate di kepulauan Maluku. Pada tahun 1486M Kerajaan Ternate menjadi Kesultanan Ternate dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Abidin. Kerajaan lain yang menjadi representasi Islam di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Berkat dakwah kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam.
Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjung Pura, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam dan Palembang. Adapun di Jawa yaitu Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan pajang dan kesultanan Mataram. Sementara di Cirebon dan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan luwu. Di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima.
Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi, maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Pada abad ke 17 A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum Negara. Di Banten, hukuman bagi pencuri dengan potong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri, dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas pada tahun 1651-1680M di bawah Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri perwira. Di bidang lainnya juga menunjukkan syariat Islam lah yang menjadi acuan dalam kehidupan, baik ekonomi, hubungan luar negeri, keluarga dan kemasyarakatan, maupun pertanahan.
Hubungan Nusantara dengan Khilafah
Islam masuk ke Indonesia diantara para pengemban dakwahnya merupakan utusan langsung yang dikirim oleh Khalifah melalui walinya. Misalnya pada tahun 808H/1404M pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I (dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Ustmani) ke pulau Jawa (kelak dikenal Walisongo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode.
Hubungan juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Ustmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563, penguasa muslim di Aceh mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut bersedia masuk Islam jika kekhilafahan Ustmaniyah mau menolong mereka. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa Kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Ustmani (1300-1922).
Semenjak menjadi bagian dari Khilafah Utsmaniyyah, Kesultanan Aceh disegani. Bangsa Inggris dan Portugis tidak berani apa-apa pada Aceh. Hal ini tak dapat dilepaskan dari dukungan pendidikan jihad yang dilakukan oleh Khilafah Utsmaniyah. Pendidikan agama dan militer Baitul Maqdis terbuka untuk muslim dan muslimah. Dari sini lahirlah mujahidah tangguh, Laksamana Malahayati. Legitimasi Kesultanan Aceh berasal dari Kekhilafahan Utsmaniyah via Makkah. Hal ini membawa kemuliaan bagi para sultan.
Kerajaan Mataram dan Buton juga memiliki kaitan dengan Khilafah Utsmaniyah. Mereka mengirimkan utusan kepada sultan di Ashimah Daulah. Relasi kesultanan di Nusantara dengan Abbasiyah juga marak, yakni dalam hal gelar. Banyak sultan di Nusantara yang menggunakan gelar Abbasiyah seperti al-Muʼtasim Billah.
Di JKDN 2 penyampaiannya lebih kepada upaya Belanda untuk menghancurkan kekuatan Islam di Nusantara.
Belanda datang ke Banten dipimpin oleh Cournelis de Houtman dan berbuat keonaran di sepanjang pesisir utara Jawa. Setelah de Houtman pergi dari Nusantara, datang VOC yang menjadi awal bencana kaum muslimin Nusantara. Belanda pun tiba di Ternate dan Maluku. Demi menguasai rempah di Maluku, dijadikanlah jazirah ini menjadi lumbung emas VOC.
Melemahnya Kesultanan Nusantara
Setelah menguasai Pulau Jawa secara total, Belanda mulai berusaha menguasai seluruh kesultanan di Nusantara, padahal kesultanan-kesultanan ini adalah kesultanan yang berdaulat dan menerapkan syariat Islam seperti halnya di Banjar. Belanda mulai menyebarkan pengaruhnya ke Sumatera, Bali, dan Kalimantan dengan berpura-pura menjalin persahabatan. Kondisi ini menjauhkan penguasa dan rakyat dari Islam, juga meresahkan mereka yang taat pada Islam.
Di Aceh, Sultan Mansyur Syah, sultan terkuat se-Asia Tenggara telah menyaksikan bagaimana kesultanan di Nusantara dijajah Belanda. Datang surat kepada beliau dari Minangkabau dan kesultanan lain di Nusantara yang sudah dipecah-belah oleh Belanda. Beliau memutuskan tidak ada pilihan kecuali persatuan dengan bersandar pada satu-satunya pemimpin kaum muslimin di Nusantara, yakni Khilafah Islamiyyah.
Masih banyak sejarah perjuangan yang dilakukan kesultanan di Nusantara lainnya yang digambarkan di Film JKDN 2 ini yang akan membuat kaum muslimin terkesima bahwa kita pernah dibawah satu naungan Khilafah Islamiyah untuk melawan penjajah yang datang ke Nusantara.
Ketika masa Perang Dunia I, banyak putra-putra Nusantara yang ingin ikut berjihad. Ketua Sarekat Islam cabang Batavia Raden Gunawan menulis bahwa orang Islam memandang pada kerajaan Turki sebagai simbol kemerdekaan Islam dunia karena Turki-lah yang masih memegang ajaran Nabi Muhammad ﷺ. Dukungan Sarekat Islam kepada Khilafah Utsmaniyah dalam Perang Dunia I juga melalui penggalangan dana yang akan disalurkan melalui Konsul Utsmaniyah.
Perang Dunia I menyisakan hanya wilayah Turki dan wilayah lainnya dalam kekuasaan Khilafah terpecah-belah. Dalam kondisi genting seperti ini, muncullah Mustafa Kamal Attaturk. Dia diangkat menjadi pimpinan Turki Muda dan membuat pemerintah saingan di Ankara. Mustafa Kamal menjadikan opini umum untuk mendukung pemerintah Ankara dengan semangat nasionalisme. Pada November 1922, Mustafa Kamal memutuskan untuk menghapuskan Khilafah. Naiklah Abdul Majid II tanpa kekuasaan. Selama dua tahun Mustafa Kamal menciptakan isu-isu yang dapat membangkitkan perlawanan terhadap Khalifah. Pada 3 Maret 1924, Khilafah Utsmaniyah dihapus dan digantikan Republik Turki.
Kaum muslimin di Nusantara tidak akan pernah melupakan bahwa dahulu kaum muslimin pernah dipimpin oleh Khilafah Islamiyyah. Dan Khilafah meninggalkan jejaknya di Nusantara. Perjuangan penegakan syariah Islam dan Khilafah pun tidak akan pernah berhenti.
“Kemudian akan muncul Khilafah dengan metode kenabian”.
Wallahu’alam bishshawab.