Oleh : Tawati (Aktivis Muslimah dan Revowriter Majalengka)
Rumah adalah kebutuhan asasi semua orang. Harga rumah yang mahal menjadi faktor masih banyak yang belum memiliki rumah tak terkecuali dikalangan milenial. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, bahwa sebanyak 81 juta penduduk Indonesia kelompok milenial ternyata belum memiliki rumah. Catatan ini adalah berdasarkan data milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Setidaknya ada 81 juta generasi milenial dengan status yang berbeda ini data dari Kementerian PUPR belum dapat fasilitas rumah,” ujar Erick Thohir, ketika mendampingi Presiden Jokowi meresmikan Hunian Milenial untuk Indonesia, di Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (13/4) lalu.
Persoalan ketersediaan rumah yang bisa terjangkau adalah masalah krusial yang dihadapi generasi milenial hari ini. Maka dari itu, pemerintah diminta menyusun skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi yang makin menyasar kemampuan daya beli dan kebutuhan generasi milenial.
Hanya saja, harga rumah yang makin tinggi dan makin sulit diakses sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh pekerja milenial saja, akan tetapi masyarakat miskin secara umum pun turut juga merasakannya.
Adanya upaya dari DPR yang mendorong pemerintah untuk terus mengembangkan berbagai skema pembiayaan khususnya KPR subsidi yang sesuai dan bisa diakses kalangan milenial, bisa jadi ini hanyalah pencitraan. Seolah-olah DPR dan pemerintah sangat memperhatikan kesulitan rakyatnya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan rumah rakyat.
Faktanya berbagai skema pembiayaan KPR subsidi yang selama ini telah dijalankan pemerintah belum memberikan pengaruh signifikan kepada rakyat dalam hal kemudahan mengakses rumah tinggal.
Menteri Keuangan pun menyebut terdapat kekurangan perumahan di Indonesia sebanyak 12,75 juta. Itu berarti, jumlah penduduk yang membutuhkan rumah di Indonesia cukuplah banyak. Penyebab kesulitan tersebut adalah karena banyaknya persyaratan yang memberatkan rakyat yang membutuhkan tempat tinggal.
Jika pun ingin mengajukan permohonan membeli rumah subsidi harus memiliki NPWP dan SPT Pajak Penghasilan (PPh). Bagi rakyat miskin hal ini tentu akan menyulitkan. Penghasilan saja mereka minim, ditambah harus memikirkan punya NPWP dan membayar pajak penghasilan. Sedangkan jika salah satu syarat tidak terpenuhi, pengajuan untuk memperoleh rumah subsidi akan ditolak
Banyak orang beranggapan subsidi itu bantuan yang langsung bisa diterima oleh rakyat pembeli rumah subsidi. Padahal, kenyataannya dana subsidi itu mengalirnya kepada operator, baik bank-bank maupun pengembang properti. Rakyat tetap harus membayar mahal harga rumah subsidi.
Operator menjalankan bisnis tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan materi. Tidak mungkin harga rumah akan dijual operator dengan harga murah dan terjangkau kepada rakyat miskin. Rakyat miskin tetap tidak akan memiliki tempat tinggal. Inilah potret negara yang menerapkan sistem kapitalisme, tidak memberi kemudahan akses memperoleh rumah tinggal untuk masyarakat.
Konsep good governance telah membuat negara abai mengurusi rakyatnya. Tata kelola perumahan rakyat yang harusnya menjadi tanggung jawab negara, justru malah diserahkan kepada operator. Peran negara dalam konsep good governance jelas sebagai pelayan operator, bukan pelayan rakyat.
Berbeda dengan konsep sahih Islam. Konsep Islam memberikan akses seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat untuk memperoleh hunian yang layak dan syar’i tanpa adanya syarat apa pun yang memberatkan. Berbagai kemudahan diberikan oleh negara kepada rakyat sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya memenuhi perintah Syara.
Hal itu bisa kita lihat dari tiga faktor yang membuat sistem Islam mampu dan terbukti menyejahterakan rakyatnya, termasuk memenuhi kebutuhan papannya.
Pertama, negara bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan asasi rakyat, termasuk rumah. Negara akan mengoptimalkan seluruh kebijakan dan kinerjanya semata untuk terpenuhinya kebutuhan rakyat.
Dalam memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya, negara tidak akan melimpahkannya kepada pihak swasta. Karena hal demikian akan menyebabkan kemudaratan bagi rakyat, mengingat jika diserahkan kepada swasta, distribusi akan mengalir kepada yang memiliki uang saja.
Rasulullah SAW., pernah mencontohkan pada kita saat awal mula hijrah dari Makkah ke Madinah. Rasulullah SAW., sebagai kepala negara dibantu dengan para muawinnya, mengurusi tempat tinggal kaum muhajirin di Madinah. Rasulullah SAW., langsung mengurusi kebutuhan pokok rakyatnya secara langsung karena kaum muhajirin berhijrah tanpa membawa harta.
Kedua, prasyarat hunian harus layak yaitu, pantas dihuni oleh manusia, dan nyaman artinya memenuhi aspek kesehatan, harus syar’i dimana bangunannya mampu menutupi aurat perempuan, dan harga terjangkau, yaitu bisa skema subsidi, dan kredit tanpa bunga, bahkan keharusan bagi negara memberikan rumah kepada fakir miskin yang memang tidak memiliki kemampuan dalam mengakses rumah.
Ketiga, sumber pembiayaan pembangunan perumahan diambil dari kas negara atau baitul mal dan pembiayaan ini bersifat mutlak. Jika kas negara kosong, sedangkan masih banyak rakyat yang belum memiliki rumah, negara akan mengambil pajak dari orang kaya. Hanya saja sifatnya temporer, yaitu pungutan dihentikan setelah persoalan ini selesai.
Selain itu, negara tidak boleh mengambil pembiayaan ini dari utang luar negeri. Disamping haram karena mengandung riba, hal itu pun akan menyebabkan kemudaratan. Telah kita ketahui bersama bahwa utang luar negeri adalah alat penjajahan ekonomi negara makmur terhadap negara miskin.
Kas kosong sangat jarang terjadi sebab baitul mal memiliki sumber pemasukan yang melimpah dari pengelolaan SDA. Islam mengharamkan kepemilikan SDA yang melimpah dikuasai oleh swasta apalagi asing. Negara pun hanya boleh mengelolanya dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sahnya.
Inilah konsep Islam dalam menyejahterakan rakyat. Keberadaan rumah sangat penting bagi keberlangsungan hidup sebuah keluarga. Dengan ditopang oleh sistem dan politik ekonomi Islam meniscayakan tersedianya rumah oleh negara untuk rakyatnya.
Wallahu a’lam bishshawab.