Oleh : Wildan Nurmujaddid Erfan (Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Surga dijelaskan atau digambarkan sebagai tempat yang memiliki keindahan dan
kenyamanan. Tentu hal itu, dapat menimbulkan kebahagiaan bagi para penghuninya. Begitu
juga dengan kota Kuningan, memiliki keindahan dan kenyamanan yang dapat menimbulkan
kebahagiaan bagi para penghuninya. Namun kebahagiaan tersebut, sirna dengan adanya
kawanan hama tikus yang hidup merusak kehidupan surga kecil tersebut.
Para kawanan Tikus melakukan deforestasi kebahagian dengan memasuki dan
mencoba mengatur kehidupan penghuninya. Dalam sistem kehidupan di surga kecil itu,
mengenal sistem ketatanegaraan yang disebut dengan pemerintahan. Dalam sistem
pemerintahannya terdiri dari Lembaga Eksekutif dan Legislatif yang saling bersinergi untuk
merusak kehidupan penghuni surga kecil ini.
Deforestasi kebahagiaan terlihat pada masa akhir jabatan dari para Tikus Eksekutif
dan Legislatif berkuasa. Deforestasi kebahagiaan terlihat dengan adanya mekanisme
kegagalan para Tikus membayar tunjangan jasa para manusia (Gaji tunjangan) dalam
pemerintahannya. Penyebab kegagalan itu diduga kuat karena para Tikus mengalihkan dana
tunjangan jasa para manusia untuk membeli lahan yang diproyeksikan sebagai jalan baru di
surga kecil itu. Tak sampai disitu, dugaan kuat lahan yang dibeli oleh Tikus tersebut
merupakan lahan-lahan para kawanannya. Artinya, pembelian lahan dengan uang tunjangan
jasa para manusia tentu menguntungkan kawanan dan golongannya.
Apabila melihat hal tersebut dalam perspektif ketatanegaraan manusia terutama di
Indonesia, hal itu melanggar adanya Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB).
AUPB dalam kehidupan manusia di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Dikatakan dalam pasal 1 ayat 17
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan bahwasannya
AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat
Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Lebih jelas lagi, dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan, AUPB meliputi asas : a. kepastian hukum; b.
kemanfaatan; c. ketidakberpihakan; d. kecermatan; e. tidak menyalahgunakan kewenangan; f.
keterbukaan; g. kepentingan umum; dan h. pelayanan yang baik. Tentu apabila melihat peristiwa para Tikus di surga kecil tersebut, dapat dianalisis bahwasannya keputusan yang
mereka ambil tidak memiliki asas ketidakberpihakan, tidak menyalahgunakan kewenangan
dan kepentingan umum. Asas ketidakberpihakan tidak terlihat dalam kebijakan para Tikus
tersebut, buktinya mereka tidak mempertimbangkan para pegawainya dan tentu hal itu sangat
diskriminatif terhadap pegawainya. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan tidak terlihat
dalam keputusan para Tikus tersebut, buktinya mereka mencampuradukkan kepentingan diri
para Tikus dan kawanannya untuk mendapatkan uang dari keputusan tersebut. Terakhir, asas
kepentingan umum tidak terlihat dalam keputusan tersebut, buktinya para Tikus tidak
mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum, kemanfaat yang kini terlihat hanya
bagi dirinya dan golongannya.
Terlihat dalam paragraf diatas, bahwasanya Kepemerintahan para Tikus tersebut tidak
sesuai dengan AUPB dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan. Namun dalam hal ini, hukum tidak bisa bertindak
leluasa layaknya bertindak kepada para subjek hukum yang lemah, hal itu karena hukum
merupakan produk dari para penguasa itu sendiri. Terlebih lagi peristiwa ini terjadi di surga
kecil dan dilakukan oleh para Tikus. Sebagaimana yang kita ketahui, Tikus yang merupakan
hewan dan tidak memiliki hati nurani serta akal, bukanlah subjek hukum yang dapat
dihukum. Untuk itu, apabila kebahagiaan di surga kecil tidak ingin di deforestasi secara terus
menerus oleh kawanan para Tikus Eksekutif dan Legislatif, maka haruslah ada
malaikat-malaikat kecil yang menabur serbuk-serbuk anti hama tikus di surga kecil tersebut.