Oleh : Nunung Nurhayati (Aktivis Muslimah)
Pemerintah meluncurkan program Sekolah Rakyat (SR) sebagai salah satu langkah strategis untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Program ini merupakan inisiatif langsung dari Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Sasarannya, meliputi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem yang selama ini sulit mengakses pendidikan berkualitas.
Per 14 Juli 2025 lalu, sebanyak 63 Sekolah Rakyat telah dinyatakan beroperasi. Sisanya, 37 sekolah akan dibuka pada akhir Juli atau awal Agustus 2025 untuk menjangkau 100 lokasi di seluruh Indonesia. Distribusi Sekolah Rakyat, meliputi Jawa 48 sekolah, Sumatera 22 sekolah, Sulawesi 15 sekolah, Bali 4 sekolah, Nusa Tenggara 4 sekolah, Kalimantan 4 sekolah, Maluku 4 sekolah, dan Papua 3 sekolah (kilaskementerian.kompas.com, 21/7/2025).
Program ini, akankah mampu menjadi solusi tepat ditengah kemiskinan yang semakin mengkhawatirkan? Ataukah turut andil menciptakan ketimpangan dan kelas-kelas sosial? Dari data terbaru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), anak SMK yang putus sekolah di seluruh Indonesia mencapai 9.391 orang. Mereka tergolong dalam anak-anak usia 16-18 tahun. Sedangkan secara keseluruhan ada lebih dari 4 juta anak-anak putus sekolah di Tanah Air ini (kompas.com, 1/7/2025).
Disamping itu, sebanyak 15,42 juta orang di Indonesia hidup dalam kemiskinan ekstrem. Bila diukur menggunakan PPP US$8,30, angka kemiskinan di Indonesia pada 2024 mencapai 68,25 persen atau setara 193,49 juta jiwa. Sedangkan jika menggunakan garis kemiskinan yang lama, angka kemiskinan mencapai 171,8 juta jiwa atau setara 60,3 persen (tempo.com, 8/6/2025).
Lebih dari setengah penduduk Indonesia nyatanya terkategori miskin. Lebih dari 4 juta generasi terancam menjadi pengangguran akibat minus syarat ijazah dalam melamar pekerjaan. Oleh sebab itulah, pemerintah kemudian menggandeng program SR sebagai jurus jitu menghancurkan dua permasalahan sekaligus, yakni masalah pemerataan pendidikan dan masalah pengangguran yang berujung kepada masalah kemiskinan. Padahal, sejatinya SR bukan solusi tepat untuk pemerataan pendidikan apalagi solusi tepat dalam upaya memutus rantai kemiskinan. Mengapa?
Realita hari ini, kemiskinan yang terjadi merupakan kemiskinan struktural. Demikian juga problem pengangguran, tidak lantas terselesaikan hanya dengan anak-anak keluarga miskin mendapatkan ijazah untuk mendapatkan pekerjaan dengan jalan masuk SR. Sebab, fakta dalam dunia pekerjaan saat ini, PHK marak terjadi, lapangan pekerjaan sulit bahkan terbilang langka.
Kesemua ini merupakan dampak dari penerapan sistem kapitalisme yang telah menempatkan negara hanya sebagai regulator oligarki. Negara, tidak menjadi pengurus rakyat yang sebenar-benarnya. Baik dalam menyediakan layanan pendidikan hingga menjamin kesejahteraan rakyat. Meskipun SR memang gratis, namun hal ini telah menunjukkan bahwa negara hanya mengurusi rakyat miskin yang tak mampu sekolah saja.
Disamping itu, hadirnya SR akan memunculkan kelas-kelas sosial baru. Ada sekolah untuk warga negara yang mampu dan SR, sekolah untuk warga dengan kategori miskin bahkan miskin ekstrem. Hal ini, tentu bisa berdampak pada hancurnya mental peserta didik. Selain itu, problem ketimpangan dan kesenjangan sosial di kalangan masyarakat, bertambah kian jelas.
Padahal, apabila diteliti lebih mendalam, masih banyak problem pada sekolah negeri yang jelas-jelas sudah lama berdiri. Baik terkait problem kualitas pendidikan maupun sarana dan prasarana yang belum memadai, kecukupan dan kualitas tenaga pendidik dan lain-lainnya. Nampaklah, SR hanya sekedar solusi tambal sulam yang tidak mampu menjangkau dan menyelesaikan persoalan masyarakat hingga ke akar.
Sejalan dengan SR, sebelumnya telah lahir kebijakan populis seperti MBG yang sama-sama tidak menyentuh akar permasalahan. Bahkan, sampai memunculkan kegaduhan baru dalam dunia pendidikan, seperti keracunan massal. Hingga KPK turun tangan, melakukan pengawasan karena sinyal potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa program MBG.
Inilah regulasi pragmatis dalam bingkai sistem kapitalis. Sangatlah jauh berbeda dengan sistem Islam. Sistem pendidikan dengan kualitas terbaik berada dalam tanggungjawab negara didalam Islam. Prosesnya, menyentuh semua kalangan masyarakat, baik kategori miskin maupun kaya. Hadirnya, meliputi semua jenjang pendidikan dengan pembiayaan yang ditanggung penuh oleh negara (gratis) melalui sistem ekonomi Islam sebagai penopang sumber dana yang ideal.
Negara yang berbasis Islam, akan benar-benar menjamin kesejahteraan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Dikarenakan, negara dalam Islam berperan sebagai rain yang bertanggung jawab penuh dalam mengurusi setiap urusan dan berbagai kebutuhan dasar rakyat secara keseluruhan. Rasulullah Saw bersabda; “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Sebagai raa’in, negara akan menjadi distributor utama bukan sekedar regulator dan fasilitatornya saja.
Disisi lain, peran pemimpin negara didalam Islam yakni sebagai junnah (perisai) bagi rakyatnya. Dalam sabda Rasulullah Saw, beliau menerangkan; ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud). Namun, tentulah, negara yang demikian itu hanya akan terwujud melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah).
Allah SWT berfirman; “.. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha : 123-124). Allahu’alam bishshowab.
