Oleh : Lia Awaliyah (Mahasiswi Majalengka)
Peristiwa ambruknya gedung lantai empat Pondok Pesantren Al-Khozyni di Buduran, Sidoarjo, telah mengundang keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan. Hingga saat ini, jumlah korban terus bertambah, dengan 67 santri meninggal dan 104 lainnya mengalami luka-luka (www.detik.com, 8/10/2025).
Zainal Abidin, Ketua Alumni Pondok Pesantren Al-Khozyni sekaligus Ketua PCNU Sidoarjo, mewakili pengasuh menyampaikan belasungkawa yang mendalam dan permohonan maaf atas ketidakmampuan memberikan perlindungan maksimal kepada para santri dalam proses tholabul ilmi (www.detik.com, 8/10/2025).
Meski semua pihak, terutama orang tua wali santri dan pengasuh, menerima kejadian ini sebagai takdir terbaik dari Allah, tanggung jawab hukum atas musibah ini tetap harus ditegakkan. Indikasi kelalaian manusia dalam pengerjaan bangunan perlu diusut agar tragedi serupa tidak kembali terjadi di tempat lain. Menurut Abdus Salam Mujib, Ketua Pondok Pesantren Al-Khozyni, penyebab ambruknya diduga karena kekuatan penopang cor yang tidak memadai. Sementara itu, Bupati Sidoarjo, Subandi, menyatakan bahwa bangunan tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
Dalam pandangan hukum, pakar pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebutkan harus ada pihak yang bertanggung jawab karena ambruknya gedung ini bukan akibat bencana alam. Polisi diharapkan dapat mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab, meski akan sulit jika pembangunan dilakukan secara swadaya oleh masyarakat (cnnindonesia.com, 8/10/2025).
Peristiwa ini juga mencerminkan lemahnya perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan, terutama dalam penyediaan fasilitas yang memadai. Selama ini, beban pendanaan justru jatuh kepada wali santri dan donatur, sebuah kondisi yang rentan memicu insiden seperti ini. Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini membuat pemerintah mengerjakan urusan rakyatnya *setengah hati* karena yang terlintas hanyalah keuntungan semata yang dapat dinikmati oleh penguasa dan pendukungnya. Selain itu, dengan sistem seperti ini dapat menghilangkan keimanan akan adanya pertanggungjawaban kelak dihadapan Allah Swt. atas amanah yang dititipkan kepada para pemangku kebijakan (www.muslimahnews.com 23/6/2025).
Dalam perspektif Islam, peran negara sangat penting dalam menyediakan fasilitas umum, termasuk pendidikan. Baitul Mal sebagai pusat pengelolaan keuangan negara, memiliki fungsi untuk menghimpun berbagai pendapatan negara mulai dari pemasukan dan pengeluarannya. Selain itu, pemasukan yang didapatkan di dalam sistem pemerintahan Islam memiliki alokasi penggunaan yang berbeda, diantaranya :
1. Harta rampasan perang tanpa pertempuran (Fa’i) dan harta rampasan perang (ghanimah) dialokasikan untuk kepentingan administrasi negara seperti : gaji pegawai, tentara dan operasional yang lainnya.
2. Harta iuran bagi non-muslim yang tinggal didaerah negara Islam (Jizyah) dialokasikan untuk kesejahteraan kaum non-muslim dalam menjamin hak-hak nya.
3. Harta wakaf dialokasikan sesuai dengan tujuan dana ini diperuntukan apa oleh pewakaf. Seperti : membangun masjid, madrasah atau rumah sakit.
4. Harta zakat, infak, sedekah dan pengelolaan hasil sumber daya alam (air, api dan tanah) dialokasikan untuk kemaslahatan umat, seperti : mendirikan sekolah, rumah sakit, pemberdayaan ekonomi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Salah satu contoh kecilnya, masa kegemilangan Islam menunjukkan bagaimana pemerintah memberikan perhatian besar terhadap fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru hingga menjadikan negeri tersebut pusat ilmu pengetahuan yang diminati banyak orang.
Oleh karena itu, jika aturan yang digunakannya adalah peraturan Allah dan Rasul-Nya, maka rakyat akan terjamin kesejahteraannya. Semoga musibah di Pondok Pesantren Al-Khozyni menjadi momentum introspeksi semua pihak, khususnya pemerintah, agar segera memperbaiki kebijakan dan pengawasan demi menjamin keamanan dan kualitas pendidikan bagi generasi bangsa.
