Oleh : Suci Arumsari Hidayat (Aktivis Muslimah)
Fenomena banyaknya Gen Z yang terperangkap utang pinjaman online sudah bukan sekadar masalah individu, tetapi gejala sosial yang serius. Data OJK menunjukkan bahwa lebih dari 58% rekening aktif pinjaman online berasal dari kelompok usia muda, dan mereka menyumbang lebih dari sepertiga kredit macet. Angka ini mengkhawatirkan, sebab generasi yang diharapkan menjadi penopang ekonomi justru terseret dalam lingkaran utang konsumtif yang dibuat sendiri.
Kaum muda dengan sumber daya keuangan yang lebih terbatas, terutama anak laki-laki, menjadi pihak yang paling terpapar algoritma iklan tentang cara menghasilkan uang dengan mudah, tetapi penuh risiko, seperti pinjaman dan judi daring. Sementara itu, jenis iklan yang sering muncul untuk kaum muda kelas atas adalah yang terkait perjalanan dan rekreasi. Kemudahan akses pinjol menjadi bumerang ketika dipadukan dengan pola hidup yang menjadikan tren dan pengakuan sosial sebagai kebutuhan utama. (Kompas, 05/12/2025)
Maraknya budaya pamer di media sosial ikut menyulut perilaku konsumtif. Banyak anak muda memaksakan diri untuk tampil seolah hidup “keren”, padahal pembiayaannya didapat dari utang. Tidak sedikit yang berutang bukan karena keadaan mendesak, melainkan demi fashion, nongkrong, atau sekadar memenuhi dorongan FOMO. Akibatnya, utang yang awalnya kecil berubah menjadi beban menyesakkan karena bunga dan denda. Lebih ironis lagi, sebagian dari mereka menyelesaikan utang lama dengan meminjam dari aplikasi lain, memperjelas betapa panjangnya lingkaran masalah yang sedang dibangun.
Dalam pandangan Islam, perilaku ini bukan sekadar keliru, tetapi berbahaya. Islam mengecam pemborosan, pergaulan yang mengejar pujian manusia, dan utang yang tidak dipertimbangkan masak-masak. Islam memandang utang (qardh) sebagai akad yang sah, diperbolehkan, sepanjang dilakukan dengan niat baik, untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak, dan dengan kesadaran penuh akan amanah untuk membayar kembali. Namun, Islam juga menekankan keadilan, tanggung jawab, dan menjauhi pemborosan atau hidup berlebihan.
Sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu berdāyān (berhutang) dengan suatu waktu yang ditetapkan, maka tulislah (perjanjiannya) … dan hendaklah ada saksi dari antara kamu…” (QS. Al-Baqarah ayat 282)
Ayat ini menunjukkan bahwa utang harus dilakukan dengan jelas: dicatat, ada saksi, disepakati, dan dengan itikad baik. Itu berbeda jauh dengan pinjol modern di mana sering terjadi pengajuan impulsif, tanpa perencanaan matang, dan tanpa pemahaman penuh atas konsekuensi. Jika utang semata-mata untuk memenuhi gaya hidup atau mengikuti tren sosial, maka utang itu bisa menjadi beban berat, bukan keberkahan.
Islam menawarkan kaca pembesar yang berbeda. Dalam ekonomi Islam, utang bukan instrumen konsumsi, tetapi alat untuk kebutuhan mendesak dan manfaat nyata. Sistem yang mendorong masyarakat berutang demi gaya hidup dianggap sebagai bentuk kezhaliman struktural. Islam menolak praktik riba, eksploitasi, dan gaya hidup berlebih, tiga elemen yang justru menjadi fondasi dari fenomena pinjol saat ini.
Maka, penyelesaian masalah tidak cukup dengan mengimbau individu agar bijak; sistem ekonomi harus diarahkan kembali pada keadilan, keberkahan, serta larangan eksploitasi yang merugikan manusia. Tanpa perubahan sistemik, generasi muda akan terus menjadi korban terbaru dari industri yang hidup dari ketergantungan utang.














