Penulis : Pathan Mendris (Independen Researcher – Bandung)
Dalam konteks bersosial, kita tak akan pernah bisa luput dari aturan dan etika yang berfungsi sebagai pedoman penting dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, sehingga tercipta nilai-nilai moral yang terintegrasi secara positif.
Namun, di samping itu, masyarakat juga membentuk sebuah pemahaman mengenai apa yang dianggap ‘‘normal’’ yang sering kali terdengar sebagai sesuatu yang netral, wajar, bahkan sebuah pembenaran mutlak. Lantas apa dan siapa yang menetapkan standar normal tersebut? Jawabannya adalah suara mayoritas, budaya turun temurun, dan struktur sosial tertentu yang membentuk sebuah kebiasaan di masyarakat.
Beberapa contohnya:
Jam kerja 08.00 – 17.00 atau jam lembur dianggap “normal”, padahal tidak selalu ideal bagi kondisi kesehatan, konsentrasi, dan tingkat produktivitas kinerja.
Mengenyam jenjang pendidikan Sarjana dianggap “normal”, padahal bukan merupakan jaminan mutlak seseorang bisa memiliki tingkat intelektual, kompetensi, dan daya saing yang baik.
Menikah sebelum usia 30, memiliki rumah, memiliki anak, memiliki gadget dan kendaraan dianggap “normal” sebagai standar sosial kesuksesan, padahal banyak orang hidup bahagia dengan cara yang berbeda.
Sebuah pertanyaan besar apakah segala sesuatu yang dianggap “normal” merupakan sebuah konsep universal yang wajib diterima dan akan baik jika dilaksanakan oleh semua orang? Atau justru “normal” hanya menjadi sebuah ilusi pembenaran yang membatasi ruang hidup dan memberikan tekanan psikologis bagi individu/kelompok yang memilih jalan berbeda?
Keduanya bukan merupakan jawaban hitam dan putih. Dengan menyadari bahwa “normal” adalah konsep yang seharusnya relatif, kita perlu lebih kritis dalam menilai, melihat sudut pandang dan mendefinisikan ulang konsep ini dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat memberikan ruang bagi keberagaman, menghormati prinsip satu sama lain, dengan catatan tetap menjaga etika, aturan, dan keseimbangan sosial. Karena hidup bukan sekedar mengorbankan diri dan mengubur karakter serta pilihan pribadi demi tunduk memenuhi tuntutan standar kelompok mayoritas. Tetapi hidup juga soal menciptakan ruang untuk menjadi diri sendiri, berjalan berdampingan dalam keberagaman, menciptakan harmoni dan membangun kebaikan bersama.














