Oleh : Dr. T. Murphi Nusmir SH, MH (Ketua Umum DPP PPHI)
Keberadaan Kesultanan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari lintasan sejarah islam di Indonesia dan berdirinya NKRI. Sultan atau disebut Penguasa (Kamus besar) didaerah Nusantara kedudukannya menjadi panutan masyarakat disekitar. Kedudukan sultan bukanlah seperti penjajah, kesultanan lebih berorientasi memberikan pendidikan moral, menciptakan ketertiban melalui kaidah tidak tertulis di lingkungan masyarakat serta melakukan syiar Islam kedalam tatanan masyarkat menegakan ukhuwah islamiyah.
Keberadaan sultan di nusantara terpecah, sejak kedatangan imperialis, kolonial, masuk ke nusantara dengan politik dagangnya dan De Vide at Impera dimasa kolonial Belanda. Kolonial datang ke nusantara mulai Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, banyak meninggalkan luka dan kerugian terutama dalam masa kesultanan baik harta dan nyawa yang menjadi korban taktik busuk kepada kebanyakan sultan dengan melakukan adu domba dan merampas harta kekayaan sultan seperti tanah tanah kekuasaan sultan, termasuk melakukan infiltrasi mempengaruhi aturan aturan produk hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis sampai kepada perkawinan krabat kesultanan.
Keberhasilan penjajah terutama dimasa kolonial Belanda memperdaya kesultanan berdampak dan mempengaruhi tata aturan kebiasaan adat istiadat dan keturunan kesultanan terutama dalam garis keturunan lurus laki-laki bernisyab kolonial Belanda, mempersulit mekanisme pergantian kedudukan kesulatanan acap kali memjadi kacau tidak lagi berpegang dan diterapkan dalam tata cara adat istiadat sebagaimana mestinya dalam kebiasaan seorang keturunan dilihat dalam nasyabnya dengan taktik infiltrasi kolonial berhasil masuk dalam kekerabatan kesultanan.
Dan sampai saat ini kesultanan salah satunya terjadi dan berdampak dalam kesultanan. Salah satu cara kolonial melemahkan kesultanan dalam sisi lain adalah tanah-tanah pemilikan kesultanan dimasukan kedalam statblad kolonial, pada akhirnya tanah kesulatanan sebagai peninggalan adat dikuasai kolonial dengan cara memberlakuan undang undang yang dibuat pemerintah kolonial kepada masyarakat dan kesultanan. Cara cara menghapus praktek hukum adat yang diberlakukan dimasa Kesulatanan Cirebon diantaranya memiliki kekuasaan dan harta benda terutama tanah yang cukup luas meliputi di Indramayu dan Kertajati.
Namun status kepemilikan dan klaim sebagai harta kewarisan tidak mudah dan mulus. Kesultanan untuk mengusai, memanfaatkan dan menikmatinya lagi. Hal ini lantaran disamping konflik internal dalam kesultanan, juga diterapkannya ” Swapraja” diatas tanah tersebut sebagaimana yang diatur dalam PP No 24 Tahun 1997 dan PP No 10 Tahun 1961. Begitu kompleksitasnya yang dihadapi kesultanan ini dalam menyelesaikan persoalan internal dan eksternalnya.
