Bingkaiwarta, KUNINGAN – Pemilihan presiden Indonesia yang akan datang membawa perubahan arah yang signifikan, terutama dalam pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Perubahan ini terjadi setelah adanya intervensi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pencalonan Gibran Rakabuming sebagai cawapres, yang mempengaruhi keputusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia capres-cawapres.
Hal ini membuat PDIP meradang sehingga berseberangan dengan Jokowi yang berada dibalik kubu paslon no. 2 (Prabowo-Gibran).
Menurut Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, sepertinya Jokowi mempunyai pengaruh yang kuat yang menimbulkan kekhawatiran bagi PDIP sebagai partai pengusung paslon nomor urut 2 sehingga terjadi lagi perubahan arah.
Perubahan arah ini, kata Achmad, yang mengubah pasangan nomor urut 2 dan 3 kembali menjadi ‘All President Men’, menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia akan terjerumus lebih dalam ke dalam cengkeraman oligarki.
“Apalagi telah adanya pertemuan Maruarar Sirait, mantan anggota DPR-RI dari PDI Perjuangan, dengan empat konglomerat besar di Indonesia menyoroti aspek penting dalam politik Indonesia: kedekatan antara partai politik dan oligarki,” ujar Achmad kepada bingkaiwarta,co.id, Senin (11/12/2023).
Khususnya, lanjut Achmad, ini menunjukkan hubungan yang semakin erat antara PDI Perjuangan dan para pemain utama dalam dunia bisnis. Pertemuan ini, yang melibatkan diskusi tentang proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, mengindikasikan adanya keterlibatan dan dukungan dari kalangan oligarki terhadap kebijakan dan inisiatif yang diusung oleh partai.
“Dalam konteks pemilihan presiden mendatang, kedekatan ini bisa memberikan wawasan tentang dukungan yang mungkin diterima oleh pasangan capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Ganjar Pranowo, yang berasal dari PDI Perjuangan, mungkin mendapat manfaat dari hubungan partainya dengan para oligarki,” terangnya.
Achmad menjelaskan, dukungan dari kalangan bisnis besar ini tidak hanya berarti akses ke sumber daya finansial yang signifikan, tetapi juga pengaruh dalam lingkaran kekuasaan dan kebijakan ekonomi. Hal ini bisa menjadi faktor penting dalam kampanye dan strategi politik mereka.
Namun, menurutnya, kedekatan antara partai politik dan oligarki ini juga menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan prioritas dalam pembuatan kebijakan. Masyarakat mungkin khawatir bahwa kepentingan oligarki akan mendominasi agenda politik, mengesampingkan kebutuhan dan aspirasi rakyat luas.
“Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Kedua pasangan ini, dengan keterkaitan dan dukungan mereka dari kelompok-kelompok elit dan bisnis besar, dapat memperkuat struktur kekuasaan oligarki di Indonesia,” katanya.
Hal ini, sambung Achmad, akan berpotensi mengurangi ruang bagi kebijakan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kepentingan rakyat banyak. Dalam konteks ini, peran media dan masyarakat sipil menjadi sangat penting.
“Mereka harus aktif mengawasi dan mengkritisi setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh para calon, memastikan bahwa kepentingan rakyat tidak dikorbankan demi keuntungan segelintir elit,” ucapnya.
Ia membeberkan, salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah implementasi Undang-Undang Omnibus Law. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk menyederhanakan regulasi dan meningkatkan efisiensi, telah dikritik karena merugikan pekerja dan mengancam kepentingan nasional.
“Omnibus Law dikhawatirkan akan membuka peluang besar bagi investor asing, mengorbankan hak-hak pekerja dan standar lingkungan demi kepentingan bisnis. Jika tren ini berlanjut, bisa jadi kebijakan-kebijakan yang diambil akan lebih mengutamakan kepentingan bisnis besar daripada melindungi hak-hak pekerja dan lingkungan,” bebernya.
Selain itu, kata Achmad, isu kenaikan pajak dan RUU Omnibus Law kesehatan juga menjadi perhatian. Kenaikan pajak, meskipun mungkin memiliki justifikasi dalam konteks fiskal, sering kali memberatkan bagi masyarakat yang masih berjuang dengan kondisi ekonomi yang sulit.
RUU Omnibus Law kesehatan, yang tidak memberikan jaminan keamanan dan hukum bagi tenaga medis, menambah kekhawatiran tentang perlindungan bagi pekerja di sektor kesehatan.
“Dalam situasi ini, penting bagi masyarakat sipil dan media untuk memainkan peran aktif dalam mengawasi dan mengkritisi setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh para calon. Pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mewakili kepentingan rakyat luas, bukan hanya segelintir elit,” ungkap Achmad.
Kesimpulannya, pemilihan presiden mendatang di Indonesia menunjukkan sebuah dinamika politik yang kompleks, di mana pembangunan berkelanjutan menjadi fokus utama. Namun, tantangan untuk mewujudkan visi ini dalam praktik nyata tetap ada, dan membutuhkan kerja keras, dedikasi, serta partisipasi dari seluruh elemen bangsa. (Abel)