Oleh: Ummu Nafisah
Tak terasa pemerintahan baru memasuki 100 hari kerja. Beberapa kebijakan sudah mulai ditetapkan, tetapi belum menyentuh akar permasalahan di negeri ini. Salah satunya yang sedang ramai diperbincangkan mengenai efisiensi anggaran yang tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Dimana ini menjadi sorotan tajam ditengah dinamika politik dan ekonomi nasional.
Jika ditelusuri ternyata efisiensi anggaran memiliki tujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Namun nyatanya, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat, karena dianggap kontradiktif dan berpotensi berdampak negatif bagi pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, M.Hum, menuturkan bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintahan saat ini memiliki sejumlah pertentangan. Memang niatnya baik untuk mengurangi pemborosan, tetapi jumlah kabinet yang sangat besar justru menunjukkan ketidakefisienan. Sebab, Undang-Undang Kementerian Negara mengizinkan hingga 46 kementerian, tetapi faktanya jumlah menteri saat ini melebihi 100. Jelas berlawanan dengan prinsip efisiensi itu sendiri (Ums.ac.id, 21/02/2025).
Contohnya saja, pendirian Danantara, sebuah holding company untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Benarkah akan memperkuat BUMN? Nyatanya bisa menjadi celah baru bagi korupsi di lingkungan politik. Dampak lainnya, kemungkinan akan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor, terutama tenaga honorer dan pekerja di industri yang bergantung pada anggaran negara.
Ternyata ada yang lebih mengejutkan, program efisiensi anggaran untuk menunjang program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam mencegah kelaparan dikalangan masyarakat, terutama anak-anak. Sayangnya, realita dari MBG sendiri banyak permasalahan. Mulai dari ketidakmerataan wilayah, pilihan menu makanan yang masih terjadi pro kontra, hingga adanya indikasi pejabat wilayah yang korupsi.
Begitulah program efisiensi anggaran yang masih banyak merugikan masyarakat, bukan membuat kesejahteraan.
Solusi Islam
Kebijakan efisiensi anggaran memperlihatkan fokusnya bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan yang punya kepentingan. Bahkan makin menguatkan korporatokrasi, dimana kewenangan penguasa dipengaruhi oleh perusahaan besar. Terlihat, bahwa negara hanya berperan sebagai regulator bagi para pengusaha untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Tanpa mengindahkan apakah regulasi yang ditetapkan akan menyejahterakan rakyatnya, ataukah sebaliknya.
Berbeda dengan Islam, penguasa adalah pelindung rakyatnya. Dimana tugas utamanya mengurus rakyat dengan menciptakan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok. Pada kitab Al-Amwal yang ditulis Syekh Abdul Qadim Zalum, menyebutkan bahwa pemimpin harus mengelola anggaran negara sesuai dalil-dalil syar’i.
Maka dari itu kebijakan yang di ambil semata-mata dalam rangka melayani rakyat. Jika anggaran negara kosong , maka pemerintah akan memberlakukan dharibah. Dengan demikian pemerintah bisa memprioritaskan anggaran dan tidak boleh melakukan efisiensi anggaran dengan mengorbankan kebutuhan masyarakat. Prinsipnya kedaulatan di tangan syara, yanv artinya menjadikan penguasa harus tunduk pada hukum syara, tidak berpihak pada pihak lain yang ingin mendapat keuntungan.
Dalam Islam, sumber anggaran tidak tergantung pada utang dan pajak. Tetapi berasal dari pengelolaan sumber daya alam, salah satunya. Begitupula untuk pengalokasian anggaran akan dilaksanakan penuh tanggung jawab dengan perencanaan yang matang. Karena, Islam menetapkan jabatan adalah amanah, yang harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Wallahu’alaam Bishshowwab