Penulis: Putri Efhira Farhatunnisa
Saat ini rakyat tengah dibuat kelimpungan dengan harga kebutuhan yang kian naik, sedangkan pendapatan tak ikut naik. Kebijakan menyesakkan dada terus berdatangan, seakan tiada henti. Tak cukup membuat rakyat resah, perilaku para petinggi sukses membuat rakyat terperangah, bagaimana bisa mereka sibuk mencari pasangan kontestasi di tengah keadaan rakyat yang sedang membutuhkan empati?
Dilansir dari nasional.kompas.com (5/9/2022) Ketua Umum partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan secara terbuka, untuk bisa bekerja sama dalam pemilu 2024 kepada Ketua DPP PDI-P Puan Maharani. Pertemuannya pada 4 September kemarin bukanlah yang pertama, namun sebelumnya telah melakukan pertemuan-pertemuan mengenai hal tersebut.
Dengan dalih untuk tujuan bangsa dan negara, mereka melupakan hal yang seharusnya lebih mereka perhatikan. Bukannya memikirkan solusi permasalahan rakyat, malah sibuk mengurusi kontestasi yang masih dua tahun lagi. Semakin terlihatlah wajah petinggi di negeri demokrasi, lebih sibuk mengabdi kursi dibanding mengurusi urusan rakyat. Padahal sejatinya petinggi negara itu tak lain hanyalah pelayan masyarakat.
Jika yang duduk di kursi pemerintahan lebih mengutamakan kepentingan sendiri, untuk apa menduduki kursi? Bukankah konsekuensi dari posisi tersebut adalah mengutamakan kepengurusan rakyat? Semakin hari kian terlihat kebobrokan sistem demokrasi, kekuasaan seringkali membutakan mata hingga lupa pada tugas utama. Maka apa yang tersisa dari demokrasi untuk rakyat selain kesengsaraan? Sistem kufur dan derita selalu bergandengan karena hanya Islam pembawa bahagia.
Bagaimanakah seharusnya sikap pemimpin muslim terhadap kesusahan rakyatnya? Para petinggi negara adalah seorang pemimpin yang diibaratkan seorang ayah dalam sebuah rumah. Ketika anak-anaknya sakit, maka sang ayah akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan anaknya, ia akan melakukan yang terbaik yang ia bisa agar anaknya kembali ceria. Sungguh tega sekali ketika anak sakit, namun sang ayah sibuk dengan dunianya sendiri.
Sesungguhnya semua hal yang kita lakukan di dunia akan diminta pertanggungjawaban, tentang pertanggungjawaban seorang istri terhadap hak suami dan anaknya, seorang suami sebagai qowwam terhadap hak istri dan anaknya. Lebih dari itu, seorang pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang berlindung dibawahnya, apakah sudah sejahtera atau sengsara.
Ibnu umar RA berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tangggung jawab dan tugasnya.
Menjadi seorang pemimpin merupakan sebuah tugas yang amat berat, karena cakupan pertanggungjawabannya bukan lagi menyangkut beberapa orang saja namun jutaan jiwa. Bahkan Rasulullah SAW saja mendo’akan keburukan bagi seorang pemimpin yang menyusahkan umat. Ada pula ancaman bagi seorang pemimpin yang diberi amanah untuk mengurusi urusan rakyat namun ia tidak melakukannya dengan baik maka tidak akan mencium bau surga.
اللَّهُمَّ، مَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَشَقَّ عليهم، فَاشْقُقْ عليه، وَمَن وَلِيَ مِن أَمْرِ أُمَّتي شيئًا فَرَفَقَ بهِمْ، فَارْفُقْ بهِ
“Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia sayang pada umatku, maka sayangilah ia.”
(HR. Muslim, no. 1828)
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Abul Asyhab dari Al Hasan, bahwasanya Abdullah bin Ziyad mengunjungi Ma’qil bin yasar ketika sakitnya yang menjadikan kematiannya, lantas Ma’qil mengatakan kepadanya; ‘Saya sampaikan hadist kepadamu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau surga.”
Dalam Islam, seorang pemimpin harus memahami pertanggungjawaban ini, dan menumbuhkan rasa takut dalam dirinya untuk berbuat tidak adil. Para pemimpin Islam terdahulu banyak yang dapat dijadikan teladan dalam kepemimpinan, salah satunya seorang Khalifah yang gemar blusukan untuk mengetahui keadaan umatnya yaitu Umar bin Khattab. Namun pemimpin yang satu ini tidak membawa tim kamera maupun media seperti pemimpin di negeri wakanda.
Suatu malam sayyidina Umar mendengar seorang bayi yang menangis, bertanyalah khalifah ini pada sang ibu. Lalu sang ibu menceritakan bahwa bayi kecilnya terpaksa disapih karena ia kurang makan, sebab Khalifah hanya memberi bantuan pada anak yang disapih, bukan ibu menyusui. Mendengarnya tentu membuat sang Khalifah sedih, sampai-sampai saat mengimami shalat subuh, suara sayyidina Umar nyaris tak terdengar karena tangisnya. Hingga setelah shalat, beliau langsung mengumumkan untuk memberi bantuan pada ibu menyusui. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Thabaqat Kubra.
Namun sekarang ini, adakah pemimpin seperti sayyidina Umar? Pemimpin kaya empati tak akan lahir dari sistem demokrasi, karena sistem ini membuat pemimpin berorientasi materi, bukan ridla Ilahi. Umar bin Khattab masa kini akan lahir dalam sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah. Dimana kesejahteraan dan kebahagiaan umat merupakan prioritas utama, karena pahamnya konsekuensi dari melalaikannya. Wallahua’lam bishshawab.