Oleh : Nengani Sholihah
Sejatinya setiap lahan memiliki fungsinya masing-masing. Jika fungsinya dialihkan tidak menutup kemungkinan akan mendatangkan korban.
Seperti yang dilansir oleh media online allkuningan.com pada Sabtu, 5 Maret 2022 telah terjadi banjir di lahan pesawahan milik warga kelurahan Cigintung. Banjir yang terjadi membawa lumpur dan sampah matrial pembangunan ini tentunya merugikan warga. Karena lahan sawah sudah ditanami oleh tanaman padi.
Meskipun telah terjadi kesepakatan dan pergantian atas kerugian yang dialami oleh masyarakat namun nyatanya daerah yang menjadi perumahan merupakan sebuah lahan resapan air hujan dan memiliki mata air. Ironisnya mata air yang menjadi sumber pengairan untuk sawah dan kebutuhan air bersih masyarakat pun telah dibeli oleh pihak developer.
Hal ini menandakan bahwa pembangunan yang terjadi tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kota (RTRWK). Yaitu pada tujuan tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan seperti banjir, erosi dan sedimentasi.
Pembangunan dan dampaknya
Pada umumnya peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan perkembangan kota. Perkembangan ini melalui perluasan daerah permukiman, kawasan bisnis pertokoan, perkantoran, jalan, dan sarana prasarana pendukung lainnya.
Karena terbatasnya lahan untuk perkembangan kota maka perluasan kawasan merambah ke daerah pinggiran. Kawasan perbukitan, bantaran sungai, hutan lindung, hutan kota serta areal pertanian perkotaan yang seharusnya tetap hijau, mulai dirambah menjadi kawadan permukiman dan perdagangan. Kawasan – kawasan terbuka tersebut sebenarnya dapat digunakan sebagai kawasan resapan air yang memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan siklus hidrologi dan sumber mata air sebuah wilayah.
Perubahan fungsi lahan akan berpengaruh pada siklus hidrologi terutama pada proses peresapan air ke dalam tanah. Pendirian suatu bangunan diatas lahan resapan air dapat menyebabkan lahan tersebut menjadi lebih kedap air. Sehingga menyebabkan jumlah air yang meresap ke dalam tanah akan menurun dengan drastis atau bahkan tidak ada sama sekali. Akhirnya aliran air akan meningkat ke permukaan. Bahkan pergerakan air dari hulu ke hilir atau dari dataran tinggi ke dataran rendah akan terganggu.
Berkurangnya kawasan resapan air dapat mengurangi kemampuan dalam fungsinya sebagai kawasan penyangga. Yaitu akan berdampak pada timbulnya bencana banjir di kawasan setempat atau bahkan di kawasan lain diluar kawasan penyangga.
Maka pembangunan permukiman dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan papan masyarakat, sejatinya harus dilihat dengan teliti dampak yang akan ditimbulkan. Tidak hanya dampak positif namun juga dampak negatif dari pembangunan tersebut. Adanya aturan rencana tata ruang wilayah kota yaitu demi terwujudnya keseimbangan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat seharusnya dilakukan sesuai dengan tujuan tersebut.
Apabila kawasan yang akan atau sedang dibangun permukiman merupakan kawasan resapan air diabaikan fungsinya maka bisa menimbulkan banjir dan longsor. Karena siklus hidrologinya akan terganggu. Jelaslah bahwa kawasan tersebut tidaklah cocok untuk dibangun permukiman.
Lahan dan tanah dalam pandangan Islam
Lahan dan tanah adalah salah satu kekayaan alam yang mendapatkan perhatian penting dalam Islam. Tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia tapi juga sebagai tempat tinggal dan beraktivitas dalam menjalankan kehidupannya di dunia yang berorientasi pada akhirat.
Dalam pandangan Islam sebuah lahan yang termasuk tanah di dalamnya terbagi menjadi tiga bagian dalam kepemilikannya.
Pertama, kepemilikan individu yang akan diberikan proteksi oleh negara kepada setiap individu yang memiliki tanah. Negara menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah dengan tujuan untuk memudahkan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya sekaligus melindungi kepemilikan dari orang-orang yang yang tidak bertanggungjawab.. Pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemilik tanah.
Kedua, kepemilikan umum yaitu lahan yang berupa padang rumput, sungai, danau, terusan, selat, pantai, lautan, tanah-tanah tambang pelngeolaan lahan ini haruslah dikelola oleh negara untuk kemaslahatan masyarakat. Haram hukumnya bagi negara untuk menyerahkan pengelolaan lahan yang memiliki hajat hidup bagi rakyat banyak kepada swasta atau pihak lain.
Sebagaimana Rasulullah bersabda:
“Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud).
Ketiga, kepemilikan negara yaitu meliputi padang pasir, gunung, bukit, lembah, pantai, tanah mati, dan lain-lain. Pengelolaan kepemilikan negara ini sepenuhnya diserahkan kepada khalifah sebagai kepala negara yang sesuai dengan ijtihadnya dan hukum syara’. Meskipun pengelolaan kepemilikan negara diserahkan kepada negara namun negara dalam hal ini kepala negara tidak diperbolehkan memposisikan dirinya sebagai pengusaha, pedagang ataupun produsen.
Kedudukan Negara tetaplah sebagai pengatur. Oleh karena itu, dalam pengelolaan harta-harta kepemilikan negara tersebut, aspek yang ditonjolkan adalah pengaturan urusan masyarakat (ri’ayah), merealisasikan kemaslahatan rakyat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bukan berorientasi pada bisnis dan mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pada hakikatnya dalam Islam, pengelolaan harta milik negara oleh kepala negara adalah pengaturan (ri’ayah). Bukan mencari keuntungan dan sebagai regulator bagi kaum Kapitalis. Sebagaimana yang dilakukan oleh para penguasa yang berada dalam sistem Kapitalisme.
Maka Islam memandang dalam pengklasifikasian lahan dan tanah tidak hanya memberikan kepastian terhadap kepemilikan tapi juga dari penguasaan dan pemanfaatan oleh segelintir orang yang menginginkan keuntungan tanpa melihat dampak yang ditimbulkan.
Pemanfaatan lahan dan tanah dalam Islam
Pengklasifikasian lahan dan tanah dilakukan agar sesuai dengan fungsinya masing-masing dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kemaslahatan seluruhnya. Maka hendaknya dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal baik oleh individu maupun negara.
Pertama untuk lahan dan tanah yang merupakan milik individu hendaknya bagi pemilik menggarap lahan tersebut sehingga menjadi lahan produktif. Negara berkewajiban untuk memenuhi sarana dan prasarana dalam mewujudkan lahan tersebut menjadi lahan produktif.
Maka jika tidak mampu untuk mengelola lahannya sebaiknya pemilik lahan harus menyerahkan lahan tersebut kepada saudaranya yang mampu menggarap lahan tersebut. Namun ketika lahan itu tidak digarap selama tiga tahun, maka kewajiban bagi negara untuk menyita tanah tersebut. Sehingga tanah itu menjadi tanah milik negara.
Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
“Siapa saja yang memiliki tanah, garaplah tanah itu, atau ia memberikan tanah tersebut kepada orang lain. Jika ia tidak melakukan hal itu, sitalah tanahnya” (HR al-Bukhari).
Kemudian Rasulullah pun melarang untuk menyewakan lahan kepada orang lain atau mengambil bagian dari lahan yang tidak digarap oleh pemilik atas orang yang menggarap lahan tersebut.
Kedua untuk lahan yang dikuasai oleh negara yang merupakan kepemilikan umum yang disebut dengan hima maka pemanfaatannya dilakukan demi kemaslahatan masyarakat luas.
Negara boleh menentukan lahan dan tanah milik umum dibagi menjadi kawasan-kawasan. Seperti hutan lindung, suaka margasatwa, lahan resapan air, perindustrian, pertanian khusus, pangkalan pasukan militer, pusat penelitian, pariwisata, permukiman rakyat dan lain sebagainya.
Hal ini dilakukan untuk kemaslahatan masyarakat banyak dengan tanpa mengenyampingkan hukum syara’ dan dampak dari perkembangan lahan. Sehingga pemanfaatan lahan dan tanah yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan baik kebutuhan penunjang pangan, papan maupun sandang. Karena negara dalam hal ini kepala negara sebagai pengembala yng akan dimintai pertanggungjawabannya atas pengembalaan nya.
Wallahu’alam bishawwab