Oleh : Ummu Aimar
Banjir bandang di Sukabumi dipastikan akibat pendangkalan sungai. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) berupaya melakukan pengerukan terhadap sejumlah sungai di Sukabumi. 12 alat berat dikerahkan menormalkan berbagai sungai.
Dalam kunjungannya ke Sukabumi, Wakil Menteri PU Diana Kusumastuti menuturkan bahwa Hari ini (7/12) memang sengaja ke Sukabumi mempercepat mengatasi dampak bencana banjir dan tanah longsor. “Sejak hari pertama ditangani Kementerian PU melalui balai-balai.
(https://www.jawapos.com)
Musibah bencana alam yang terjadi di sejumlah daerah, di antaranya Sukabumi. Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Sukabumi, hingga Sabtu (7-12-2024) pukul 17.30 WIB ada 328 titik bencana yang tersebar di 39 kecamatan. Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukabumi Deden Sumpena menjelaskan bahwa jenis bencana yang terjadi di tiap kecamatan sangat bervariasi. Tanah longsor, banjir, angin kencang, dan pergerakan tanah menjadi bencana utama.
Selain Sukabumi, bencana alam juga terjadi di daerah lain seperti Cianjur dan Pandeglang. Di Cianjur, Jawa Barat bencana alam berupa pergerakan tanah meluas di 15 kecamatan dan kemungkinan masih bertambah.
Penyebab utama banjir adalah buruknya kondisi saluran drainase yang tidak dapat menampung aliran air sehingga air meluap dan merendam permukiman warga.
Selain itu, maraknya aktivitas deforestasi untuk lahan pertanian dan permukiman menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penahan air dan pengikat tanah. Hal ini diperparah oleh kondisi curah hujan yang makin tidak menentu akibat perubahan iklim sehingga meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor. Namun, aspek yang paling patut diperhatikan adalah kurangnya infrastruktur mitigasi. Sistem peringatan dini dan infrastruktur penanggulangan bencana yang belum optimal bisa meningkatkan risiko bencana.
Kemudian, persoalan kualitas dan kuantitas air. Ini karena pencemaran air sungai dan sumber air lainnya terus terjadi sehingga harus ditanggulangi secara serius.
Banjir dan longsor sering dianggap sebagai akibat langsung dari curah hujan yang tinggi dan meluapnya sungai. Dengan mencermati faktor-faktor lainnya, penyebab banjir bandang diberbagai daerah secara umum erat kaitannya dengan ulah tangan manusia, khususnya dari sisi kerusakan alam dan lingkungan. Banyak dampak negatif.
Terjadinya bencana alam memang layak membuat kita muhasabah. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa bencana alam sejatinya bersifat sistemis. Ini tampak dari penanganan bencana dari tahun ke tahun yang tidak menunjukkan perubahan signifikan, padahal hampir tiap tahun data rekomendasi kerentanan bencana dari Badan Geologi selalu diperbaharui dan diberikan kepada pemda terkait.
Bencana yang berulang dan menjadi langganan ini menegaskan lalai dan abainya penguasa untuk mengurus rakyatnya. Ini sekaligus membuktikan bahwa solusi teknis sudah tidak mampu menanggulangi. Ini juga harus menjadi pelajaran untuk mitigasi bencana alam di daerah yang lain.
Musibah bisa terjadi akibat manusia merusak lingkungan, menggunduli hutan dan perilaku sosial manusia yang mencerminkan ketidaktaatan kepada ketentuan Allah dan RasulNya. “Banyak maksiat, durhaka kepada Allah SWT, hal ini sejalan dengan firman Allah :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41).
Dalam pandangan islam, hujan adalah rahmat. Sedemikian teliti Allah menggambarkan proses terjadinya hujan.
Dengan begitu, pasti seimbang pula fungsi ekologis hujan tersebut bagi suatu kawasan. Ketika terjadi kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, tidak pelak hujan yang semestinya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana,
Untuk itu, solusinya tidak lain adalah dengan kembali kepada aturan Allah sebagai pedoman dalam kehidupan, termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa. Semua itu semestinya tecermin dari pembangunan dan pengelolaan bumi yang tidak melulu demi reputasi, apalagi kapitalisasi dan angka-angka semu pertumbuhan ekonomi.
Penguasa semestinya malu jika ada julukan “banjir tahunan” atau “bencana alam langganan”. Hal itu menunjukkan sikap abai terhadap mitigasi bencana, alih-alih mengantisipasinya. Sudah semestinya penguasa kembali pada hakikat kekuasaan yang dimilikinya, yakni semata demi menegakkan aturan Allah Taala dan meneladan Rasulullah saw. dalam rangka mengurus urusan umat.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Islam tidak anti terhadap pembangunan. Banyaknya pembangunan di dalam sejarah peradaban Islam justru telah terbukti riil berfungsi untuk urusan umat. Bangunan-bangunan peninggalan peradaban Islam itu bahkan masih banyak yang berfungsi baik hingga era modern ini, padahal usianya sudah ratusan tahun.
Pembangunan dalam Islam juga mengandung visi ibadah, yaitu bahwa pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah Taala. Untuk itu, jika suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah ataupun berdampak pada terzaliminya hamba Allah, pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan.
Begitu pula perihal tata guna lahan. Penguasa sudah semestinya memiliki inventarisasi fungsi dari masing-masing jenis lahan. Lahan yang subur dan efektif untuk pertanian sebaiknya jangan dipaksa untuk dialihfungsikan menjadi permukiman maupun kawasan industri.
Juga lahan pesisir, semestinya difungsikan menurut potensi ekologisnya, yakni mencegah abrasi air laut terhadap daratan. Sedangkan kawasan hutan hendaklah dilestarikan sebagai area konservasi agar dapat menahan/mengikat air hujan sehingga tidak mudah menimbulkan tanah longsor, sekaligus menjaga siklus air.
Semua ini bisa terwujud karena motivasi pembangunan dilakukan sebagai bagian dari penerapan syariat Islam secara kafah sehingga tentu saja membuahkan keberkahan bagi masyarakat. Ini sebagaimana firman Allah Taala, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).
Ayat ini mengandung pesan bahwa Allah akan melimpahkan berkah kepada umat manusia jika mereka beriman dan bertakwa. Berkah yang dimaksud adalah berkah dari langit dan bumi, seperti hujan yang menyuburkan tanah, tanaman yang tumbuh subur, dan kelimpahan sumber daya alam. Selain itu, berkah juga bisa berupa ilmu pengetahuan yang banyak, sehingga umat manusia dapat memahami Sunnatullah.
Ayat ini juga mengingatkan bahwa keimanan dan ketakwaan merupakan hal yang penting dalam hidup. Jika sebagian besar masyarakat melakukan kekafiran dan kemunafikan, maka keimanan dan ketakwaan beberapa orang saja tidak akan berpengaruh.