Oleh: Dr. Mu’alim, MA (Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Husnul Khotimah Kuningan)
Bangsa Indonesia baru saja merayakan hari kemerdekaannya yang ke-78. Seluruh masyarakat dari berbagai lapisan, mulai dari para pejabat hingga rakyat jelata, pegawai negeri sipil maupun karyawan swasta, baik yang tinggal di kota maupun di pelosok desa, semuanya turut serta memperingati hari kemerdekaan. Berbagai acara digelar, bukan saja sekedar upacara bendera tetapi juga bermacam-macam jenis perlombaan untuk mengekspreksikan rasa kegembiraan atas nikmat kemerdekaan sekaligus mengenang jasa-jasa para pahlawan.
Kemerdekaan memang merupakan moment yang layak untuk terus diperingati serta disyukuri. Sebab, kemerdekaan merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa (meminjam istilah pembukaan UUD 45) yang diberikan kepada bangsa ini, meskipun untuk memperolehinya melalui proses perjuangan yang sangat panjang serta mengorbanan yang tidak terbilang. Permasalahannya, sudahkah kita benar-benar memahami hakekat kemerdekaan yang sesungguhnya? Pemahaman ini penting, agar peringatan hari kemerdekaan yang kita lakukan lebih bermakna dan bukan sekedar seremonial serta hura-hura belaka. Juga agar kita dapat melakukan instropeksi diri, sudahkah kita benar-benar merdeka. Tulisan ini, akan cuba menguraikan hakekat kemerdekaan dalam perspektif Islam.
Makna Kemerdekaan
Secara etimologi, ada dua istilah Arab yang seringkali dipadankan dengan kata kemerdekaan. Yang pertama, kata al istiqlal dan yang kedua kata al huriyah. Dalam kitab Maqasid al-Syari’ah al Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa kemerdekaan mempunyai dua makna, pertama, kemerdekaan yang berarti lawan dari perbudakan. Kedua, kemerdekaan berarti kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan urusannya sesuka hatinya tanpa adanya tekanan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemerdekaan diartikan sebagai keadaan berdiri sendiri, bebas, lepas, tidak terjajah dan sebagainya.
4 (Empat) Macam Kemerdekaan
Menurut Jamal Nahsar, seorang Profesor di bidang, filsafat, akhlaq dan pemikiran kontemporer dari Mesir, menyebutkan bahwa dalam Islam paling tidak terdapat 4 (empat) jenis kemerdekaan. Pertama, kemerdekaan keyakinan (hurriyatu al i’tiqaad). Islam menjamin kemerdekaan setiap manusia untuk meyakini agama dan kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya. Allah telah membekali manusia dengan akal untuk berfikir dan merenungkan alam semesta serta tanda-tanda kekuasaanNya. Allah juga telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing dan mengarahkan manusia. Namun, manusia diberikan kebebasan untuk menganut suatu agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing serta menjalankan ritual agamanya secara bebas dan aman tanpa adanya teror atau intimidasi baik dari individu maupun penguasa. Demikian juga, idak boleh ada paksaan untuk menganuti suatu agama atau kepercayaan tertentu.
Kedua, kemerdekaan memilih dan berkehendak (hurriyatu al ikhtiyaari wa al iraadah). Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan manusia bebas untuk memilih apa yang ingin dilakukannya. Kebebasan memilih ini merupakan kebebasan yang bersifat fitrah yang telah diberikan kepada manusia sejak lahir. Tuhan telah membentangkan dua jalan di hadapan manusia, jalan kebaikan dan jalan keburukan. Tuhan juga telah menetapkan adanya perintah dan larangan. Namun manusia diberikan kebebasan, jalan mana yang akan ditempuh. Apakah memilih jalan kebaikan dengan cara bersyukur dan melaksanakan perintah Tuhan, ataukah memilih jalan keburukan dengan cara ingkar dan melanggar larangan Tuhan (Q.S. Al Insan : 3). Hanya saja, Tuhan menuntut tanggunggjawab kepada manusia terhadap segala pilihan dan kehendaknya. Karenanya Tuhan menetapkan adanya reward and punishment (pahala dan dosa) atas pilihan tindakan yang dilakukan oleh manusia.
Ketiga, kemerdekaan politik (al hurriyatu al siyasiyah). Kebebasan politik adalah dasar semua kebebasan, karena pada hakekatnya politik adalah upaya untuk memperbaiki, membimbing dan mengatur urusan manusia (baca rakyat) sehingga menjadi teratur dan tertata dengan baik. Sedangkan dalam pandangan Islam penguasa (baca: pemerintah) bukanlah orang yang sempurna. Penguasa juga bukan dewa yang mempunyai hubungan transendetal. Oleh karenanya, setiap orang hendaknya bebas memilih pemimpinnya, memantau kinerjanya, meminta pertanggungjawabannya dan mengkritiknya jika melanggar amanah. Seseorang juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi politiknya, termasuk hak untuk dipilih dan memilih menjadi pemimpin (penguasa), sebab pemerintahan bukan monopoli siapapun atau pemberian dari satu kelompok kepada kelompok yang lain.
Keempat, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi (hurriyatu al ra’yi wa al ta’bir). Berekspresi adalah hak yang melekat pada hak asasi manusia. Hal ini karena mengungkapkan pendapat sepenuhnya terkait dengan kebebasan manusia dalam berfikir, sedangkan berfikir merupakan aktivitas akal yang dijunjung tinggi dalam Islam. Namun, seperti halnya kebebasan yang lain, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi tidak bersifat mutlak dan terpisah tanpa kontrol serta batas. Sebaliknya tetap dikendalikan oleh norma-norma agama serta undang-undang dan hukum yang berlaku. Sebab, kebebasan berpendapat secara mutlak tanpa standar hanya akan menghasilkan kontradiksi dan kebohongan, dan ini tentu bertentangan dengan akal dan naluri. Tidak boleh menggunakan kebebasan berpendapat sebagai alat untuk mencelakakan dan merugikan orang lain, atau menyebarkan hasutan atau mencemarkan nama baik dan sejenisnya. Karena orang lain juga berhak untuk tidak dirugikan.
Demikian, hakekat dan macam-macam kemerdekaan. Semoga negara kita Indonesia serta seluruh rakyatnya benar-benar merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bi ash shawwab.