Oleh : Ummu Nadiatul Haq
Aktivis Muslimah
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud ristek) menyatakan berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36.31 persen atau satu dari tiga peserta didik (siswa) di Indonesia Berpotensi mengalami bullying atau perundungan. (Republika.co.id, 20/10/2023)
Sebulan ke belakang, kasus kekerasan pada anak menjadi sorotan di dunia Maya, kasus berulang di tempat berbeda. Kasus perundungan yang terjadi pada siswa SMP di Cilacap dan di Balikpapan yang mengarah pada kekerasan fisik. Kekerasan pada anak yang terjadi di lingkup sekolah atau publik bisa disebut sebagai fenomena gunung es. (Tirto.id, 22/10/2023)
Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak lagi kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI.
Mengapa kasus perundungan ini terus berulang? Meski sudah ada berbagai upaya dilakukan seperti pembentukan satgas di sekolah, pembentukan sekolah ramah anak, sampai penerbitan Permendikbud antikekerasan di sekolah.
Memang keluarga dan lingkungan masyarakat memiliki pengaruh besar terhadap perundungan anak. Keluarga tidak menjalankan fungsinya sebagai tempat pembinaan karakter anak, karena banyak orang tua sibuk dengan kerja atau urusan sendiri. Mereka menyerahkan pendidikan di sekolah, sedangkan sekolah tidak sepenuhnya memantau anak didiknya. Karena kurikulum sekuler kapitalisme juga tidak memperhatikan aspek spiritual atau agama. Selain itu, internet juga efektif membentuk karakter anak ke arah negatif.
Ini adalah dampak dari diterapkannya sistem sekuler kapitalis di semua aspek kehidupan. Sehingga pembentukan karakter anak yang baik, sholeh dan sholehah akan sulit dilakukan kalau masih dalam naungan sistem ini.
Asas sekularisme telah mencabut nilai-nilai moral dan agama. Asas ini melahirkan liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, termasuk kebebasan bertingkah laku yang tidak menghiraukan rambu-rambu agama.
Sudah seharusnya kita menyadari solusi asasi untuk menyelesaikan semua permasalahan kita, termasuk kasus perundungan yang terus berulang dengan sistem yang paripurna berasal dari Sang Pencipta, yakni sistem Islam.
Asas sistem Islam adalah akidah Islam yang memunculkan aturan yang sempurna dan terperinci. Islam menetapkan bahwa selamatnya anak dari perundungan atau segala bentuk kezaliman bukan hanya tanggung jawab keluarga dan lingkungan. Negara memiliki andil besar dalam membentuk kepribadian Islam/syaksiyah Islamiyah sehingga akan senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan maksiat termasuk perundungan.
Dalam keluarga harus terbentuk ketakwaan individu di semua anggota keluarga, sehingga perilaku baik/buruk, benar dan salah atas standar syarak semata. Di lingkungan harus ada amar makruf nahi mungkar sehingga tindakan kriminal dapat diminimalisir. Kemudian negara yang menerapkan sistem pendidikan dengan kurikulum yang menghasilkan anak didik berkepribadian Islam di setiap jenjang pendidikan akan menghindarkan dari perilaku kasar, zalim dan perilaku maksiat lainnya.
Bagaimana sanksi dalam Islam bagi anak-anak pelaku perundungan?
Anak di bawah umur (belum baligh) yang melakukan kejahatan tidak dapat dihukum ketika melakukan perbuatan kriminal seperti mencuri, pengeroyokan, maupun perundungan secara fisik. Baik sanksi hudud, jinayah, mukhalafat, maupun takzir. Anak di bawah umur belum tergolong mukalaf, karena syarat mukalaf adalah Akil (berakal), balig (dewasa) dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan dipaksa atau di luar kuasanya).
Adapun jika pada seseorang sudah ada satu atau lebih tanda-tanda balig berarti dianggap mukalaf dan dijatuhi sanksi jika melakukan tindakan kriminal.
Rasulullah saw. bersabda, “Pada dua biji mata, dikenakan diat. Pada satu biji mata, diatnya 50 ekor unta. Pada dua daun telinga dikenakan diat penuh.” (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat).
Jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum balig), ia tidak dapat dihukum. Jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, wali itulah yang dijatuhi sanksi. Namun, jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum. Namun, negara akan melakukan edukasi terhadap wali dan anak yang melakukan pelanggaran tersebut. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).
Oleh karena itu, hanya Islam yang memiliki solusi tuntas untuk menyelesaikan masalah perundungan ini. Masihkah berharap pada hukum sekuler?
Wallahu’alam bishawwab.