Bingkaiwarta, MALANG – Kondisi masyarakat yang multikultur menimbulkan beragam risiko, mulai dari fenomena intoleransi agama, polarisasi politik, hingga disintegrasi bangsa. Untuk menghadapi berbagai risiko tersebut, maka pendidikan resolusi konflik merupakan langkah preventif yang konkret dan realistis. Hal tersebut ditegaskan oleh Prof. Dr. Elly Malihah, M.Si. dalam kelas Multikulturalisme di Asia.
Dalam kelas yang merupakan kolaborasi Prodi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation, Prof. Elly mengingatkan para mahasiswa terkait keragaman Indonesia yang meliputi keragaman geografis, sosial, dan budaya. “Indonesia memiliki keberagaman yang berpotensi menjadi sebuah kekayaan jika dapat dimanfaatkan dengan baik,” ungkap Prof. Elly, Kamis (4/1/2024).
Keberagaman tersebut justru berpotensi menjadi ancaman jika tidak diiringi dengan pendidikan yang berkualitas, termasuk pendidikan resolusi konflik. Idealnya, sistem pendidikan di Indonesia dilandaskan pada prinsip mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia masih memiliki PR yang cukup signifikan.
“Terdapat tiga ‘dosa besar’ pendidikan Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan, antara lain masih adanya intoleransi yang lingkungan peserta didik, masih maraknya kasus bullying, hingga eksistensi narkotika di lingkungan pengenyam pendidikan,” urainya.
Tidak hanya itu, kasus kekerasan seksual juga menjadi salah satu pembahasan dalam agenda ini. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka diluncurkanlah Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sebagai antisipator kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan.
“Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kampus, mulai dari melembagakan pendidikan resolusi konflik, mengembangkan ruang lingkup yang menitikberatkan pada partisipasi mahasiswa, hingga menjalin kerjasama dengan pihak luar,” tutup Prof. Elly. (Abel/rls)