Ditulis oleh: Viyanti Rania (Pendidik)
Pemerintah akan membuka keran impor beras. Pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton beras dari India. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan hal ini harus dilakukan sebagai bentuk antisipasi atas dampak cuaca panas ekstrim atau El-Nino.
Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa sudah ada kesepakatan harga antara Pemerintah Indonesia dengan India. “Jika sewaktu-waktu butuh, kita bisa beli. Kita sudah pesan satu juta ton”, ungkap Zulkifli Hasan (Katadata, 17/06/2023).
Adapun rencana importasi itu di luar dari penugasan Badan Pangan Nasional yang sebelumnya memerintahkan Bulog untuk mengimpor dua juta ton beras di tahun ini. Bila rencana tambahan itu jadi, maka total beras impor yang masuk bisa mencapai tiga juta ton.
Kebijakan ini tentu menimbulkan polemik. Apakah menambah impor sampai 1 juta ton ini benar-benar diperlukan?
“Ini akan jadi rekor, paling tinggi kita impor sebelumnya 2,7 Juta ton. Sebagai antisipasi ya sah-sah saja, tapi dengan kekhawatiran El-Nino itu apakah harus satu juta ton? Ini jadi pertanyaan krusial”. Kata Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah (Republika.co.id, 20/06/2023).
Kebijakan Impor Akibat Kurangnya Antisipasi.
Kebijakan ugal-ugalan impor ini menunjukan kurangnya perencanaan. El-Nino seharusnya bisa diprediksi jauh-jauh hari. Semestinya pemerintah sudah melakukan antisipasi untuk meningkatkan stok beras dalam negeri dari tahun sebelumnya. Misalnya dengan memberi insentif pada petani agar produksi beras lokal meningkat. Misalnya dengan memberikan bantuan benih, pupuk, dan sarana produksi pertanian (saprotan) lainnya. Bukan justru jor-joran impor yang akan merugikan petani.
Faktanya setiap tahun, impor memang masih menjadi favorit pemerintah dan menajadi jurus jitu paling cepat untuk menambah stok beras nasional. Kebijakan impor yang seolah menjadi rutinitas tahunan seolah membuktikan belum ada langkah efektif untuk memaksimalkan produksi beras nasional.
Merugikan Para Petani dan Mengancam Kedaulatan Pangan.
Kebijakan doyan impor juga kerap kali dilakukan ketika menjelang panen raya, yang bisa membuat harga gabah anjlok sehingga petani merugi. Modal yang dikeluarkan para petani untuk menanam padi sangatlah besar, mulai dari membeli benih, pupuk, pestisida dan sebagainya. Juga membayar tenaga kerja, pengairan, dan sebagainya. Tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh, ketika harga gabah anjlok. Dengan hasil yang tidak sepadan dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan, membuat para petani enggan untuk menanam padi yang secara langsung akan menunrunkan jumlah produksi nasional.
Dalam jangka panjang, generasi muda enggan berprofesi sebagai petani lantaran tidak menghasilkan keuntungan menjanjikan. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kadaulatan pangan Indonesia. Jika kebiasaan doyan impor ini tetap dilakukan, Indonesia akan bergantung kepada negara lain dalam pengadaan pangan.
Liberalisasi Pangan
Kebijakan impor ini juga tidak mempengaruhi harga beras di pasar yang tetap mahal. Bahkan Bank Dunia menyebut harga beras di Indonesia merupakan yang termahal diantara negara-negara Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir.
Dengan demikian, impor beras tidak menyolusi mahalnya harga beras di Indonesia. Dan tidak pula berpihak pada rakyat, petani dirugikan karena pendapatan mereka semakin menciut dan masyarakat masih tetap dihantui oleh naiknya harga beras setiap tahunnya.
Kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak yang menjadi bagian dari rantai impor beras. Kebijakan impor beras menunjukan adanya liberalisasi pangan. Hal ini dimulai sejak 1995 ketika Indonesia meratifikasi Perjanjian World Trade Organization (WTO) yang mewajibkan Indonesia meliberalisasi pasar secara bertahap. Pelaksanaannya dimulai pada 1998 sebagai bagian dari IMF dengan melakukan pencabutan subsidi pupuk, membuka keran impor beras, dan penerapan tarif impor nol persen.
Liberalisasi semakin parah dengan disahkannya UU Cipta Kerja, dimana disebutkan sumber penyediaan pangan ada tiga, yaitu produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor. Implikasinya, impor dijadikan sebagai sumber yang setara dengan sumber pangan lainnya.
Sebagai negara agraris yang dipuja-puji memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan lokal yang melimpah, Indonesia seharusnya menjadi lumbung pangan dunia sebelum 2045. Namun ironisnya, impor pangan setiap tahun makin tidak terbendung.
Swasembada beras yang kita harapkan nampaknya hanya akan menjadi angan. Indonesia seolah dipaksa sekedar menjadi pasar dan negara tidak punya lagi kekuatan untuk menghadapi intervensi asing.
Seharusnya pemerintah mencari solusi yang menyeluruh karena fakta dilapangan kurangnya pasokan beras bukan hanya karena menurunnya produksi tapi juga ada oknum-oknum tertentu yang mengendalikan harga dengan menimbun beras tersebut. pemerintah harus menindak serius oknum-oknum tersebut.
Solusi Islam
Pada dasarnya aktifitas ekspor-impor dalam Islam dalam suatu negara diperbolehkan karena merupakan bagian dari aktifitas perdagangan yang masuk pada aspek muamalah baik secara bilateral maupun multilateral tetapi hanya boleh dilakukan pada saat mendesak tanpa menggadaikan kemandirian negara. Karena beras merupakan makanan pokok dan menyangkut hajat orang banyak, maka pengelolaannya harus oleh Negara. Dalam sistem Islam politik pertanian mutlak adanya agar potensi dan kekuatan pemerintahan bisa digali dalam rangka menciptakan pemerintahan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri sebagai wujud dari ri’ayati su’unil ummah (memelihara dan mengatur urusan umat). Menurut al-Maliki, politik pertanian merupakan kebijakan pertanian untuk mencapai produksi pertanian yang tinggi. Untuk menciptakan produksi pertanian yang tinggi digunakan dua metode yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi merupakan usaha untuk meningkatkan produktifitas tanah, termasuk menciptakan bibit tanaman unggul dan berkualitas. Untuk mencapai intensifikasi yang optimal negara harus mendorong dan membiayai riset pertanian yang bertujuan menghasilkan bibit tanaman unggul dan berkualitas, dan riset yang mengarahkan kepada peningkatan kesuburan tanah, juga penciptaan pupuk dan obat-obatan yang aman dan ramah lingkungan.
Para petani juga diberi pelatihan dan bimbingan pertanian, ditunjang dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik, sarana air dan irigasi khususnya yang mampu menjangkau wilayah pedesaan. Di samping uslub tersebut, pemerintah juga harus menjamin terserapnya produksi pertanian para petani dengan harga yang layak. Ekstensifikasi dilakukan dengan jalan perluasan area pertanian. Untuk merealisasikan program ekstensifikasi pertanian negara harus menggunakan metode hukum-hukum pertanahan, di mana negara mengatur distribusi kepemilikan tanah kepada masyarakat yang mampu mengolahnya menjadi lahan pertanian, mencegah terjadinya monopoli tanah oleh pihak individu dan swasta, mengambil kepemilikan tanah dari orang yang telah menelantarkan tanah lebih dari tiga tahun dan menyerahkan kepemilikannya kepada siapapun yang membutuhkan dan mampu menggarapnya.
Menyikapi kebijakan tersebut sudah seharusnya umat meninggalkan kepercayaannya pada kebijakan kapitalis yang zalim dan merusak, mendukung dan berusaha merealisasikan politik pertanian Islam secara ideologis dengan menerapkan syariat Islam sebagai problem solving umat.
Wallahu a’lam bish shawab.