Bingkaiwarta, KUNINGAN – Dugaan tingkat partisipasi masyarakat yang cenderung turun drastis dalam Pilkada Kuningan 2024 dibanding Pilkada sebelumnya (2018) bukan kesalahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) semata. Ada banyak faktor yang menimbulkannya antara lain peran partai politik, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat kritis individu para pemilih.
Dosen Unisa Kuningan yang akrab disapa Ceng Pandi menyebutkan, partisipasi masyarakat dalam tiga Pilkada terakhir belum melebihi 75%. Pada Pilihan Bupati 2008 sebesar 63,04%, Pilihan Bupati 2013 sebesar 64,09%, dan Pilbup 2018 sebesar 71,4%. Fluktuasi partisipasi masyarakat di setiap Pilkada tersebut memiliki dinamikanya sendiri-sendiri.
“Pilkada tahun 2018 dilaksankaan Bulan Juni tepatnya tanggal 27. Kalau tidak salah, masih dalam suasana libur panjang idul fitri. Tentu saja, bagi Kuningan yang cukup banyak perantau, momen ini sangat membantu penyelenggara dan partai politik dalam memobilisasi masa,” kata Sopandi kepada bingkaiwarta.co.id, Minggu (1/12/2024).
Memilih untuk tidak menentukan pilihan, menurutnya adalah hak warga negara. Hal itu sama dengan memilih untuk menyalurkan pilihannya. Hanya saja, bagi mereka yang tidak memilih, alasannya disebabkan oleh beberapa hal yaitu gangguan teknis, politis, ideologis, dan pragmatis.
Menurutnya, tidak memilih karena alasan teknis berhubungan dengan sebab-sebab tertentu masyarakat yang berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara atau keliru dalam mencoblos. Alasan berhalangan hadir ke TPS ini sejalan dengan kondisi masyarakat Kuningan yang 7 – 10 persennya berstatus perantauan. Jumlah ini, ditambah kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja memungkinkan para pemilih untuk lebih memilih tetap berusaha atau bekerja daripada pulang kampung hanya untuk ke TPS.
“Bagi sebagian perantauan hari ini, bisa bertahan hidup di negeri orang sudah sangat beruntung. Efek buruk pandemi masih sangat terasa dalam berusaha. Oleh sebab kondisi ekonomi itu, berat jika menyempatkan pulang hanya untuk ke TPS,” tuturnya.
Selain teknis, pilihan untuk tidak memilih juga disebabkan oleh alasan politis, yaitu berhubungan dengan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan calon-calon yang berkompetisi. Semakin banyak yang memilih tidak ke TPS, dapat disimpulkan peran partai politik dalam meyakinkan masyarakat untuk memilih jagoan-jagoannya belum maksimal.
“Macetnya mesin partai ini bisa disebabkan juga oleh beberapa faktor antara lain ada keterpaksaan koalisi. Keterpaksaan ini disebabkan oleh otoritas koalisi yang ditentukan oleh pimpinan pusat masing-masing parpol. Lebih menghambat gerakan parpol lagi ketika sebagian kandidat yang didukung atau diusungnya bukan kader partai tulen,” terangnya.
Kondisi seperti ini kemudian melahirkan alasan lain, yaitu alasan pragmatis. Bagi para penganut paham ini, datang atau tidaknya ke TPS ditentukan berdasar pada nilai manfaat langsung yang didapatnya secara individu, salah satunya ongkos atau uang pengganti transportasi ke TPS. Walaupun terlarang, politik uang sangat berpengaruh dan bisa menjadi salah satu faktor yang bisa menjawab alasan ini.
“Jika partisipasi menurun karena alasan pragmatis, bisa disimpulkan politik uang tidak semasif pada Pemilu silam. Politik uang terlarang. Tapi kondisi ini beriringan dan sejalan dengan penurunan jumlah TPS yang sangat drastis. Jumlah TPS yang berkurang ini menyebabkan jarak tempuh domisili warga ke TPS lebih jauh daripada posisi ketika Pemilu, yang secara pragmatis menyebabkan “malas” ke TPS jika tidak ada stimulannya,” jelasnya.
“Sedangkan mereka yang ideologis, alasan tidak datang ke TPS karena anti terhadap sistem pemilihan umum yang menjadi ciri khas Indonesia sebagai negara demokrasi. Kelompok ini saya kira cukup kecil bahkan nyaris tidak ada di Kabupaten Kuningan,” tambahnya.
Tetapi, lanjutnya, jika alasan ideologis diartikan positif, yakni sangat taat dengan sistem Pemilu, tapi di saat yang sama tumbuh ketidakpercayaan terhadap partai politik dan para kandidat yang dicalonkan, nilai ideologisnya ini bergeser pada upayanya datangan ke TPS sebagai bentuk kepatuhan tetapi pada pelaksanaannya memilih semua kandidat.
“Tidak jarang masyarakat datang ke TPS dan memilih semua calon. Ini juga jadi faktor kesalahan dalam pemilihan, salah satunya menambah angka suara tidak sah,” katanya.
Berdasar alasan-alasan itu, menurunnya tingkat partisipasi masyarakat Kuningan dalam Pilkada bukan semata kesalahan KPU. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor lain yang tidak kalah dominan, yaitu daya kritis masyarakat yang meningkat sehingga secara rasional dapat menentukan sikapnya untuk datang atau tidak ke TPS, atau kegagalan partai politik dalam memobilisasi masa untuk memilih kandidat yang dijagokannya.
Ia menambahkan, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat butuh kerjasama semua pihak, baik dari sisi penyelenggara, partai politik, dan para pemimpin negeri. Penyelenggara harus lebih masif dalam melaksanakan sosialisasi dan membangun komunikasi yang baik dengan berbagai pihak. Begitu pun partai politik harus memperkuat pendidikan politik. Kemudian para pemimpin negeri harus memberikan contoh baik, mengurangi janji-janji manis tanpa bukti, tidak korup, dan mengindari tindakan merugikan lainnya supaya tumbuh optimisme masyarakat dalam memilih para pemimpinnya.
“Tahapan rekapitulasi masih berjalan, ada baiknya tunggu hasil akhir supaya bisa menyimpulkan sejauhmana penurunan partsipasi masyarakat dalam Pilkada kali ini,” pungkasnya. (Abel)