Oleh: Resa Ristia Nuraidah
Dalam dunia perekonomian, kebijakan fiskal selalu menjadi topik yang menarik karena menyentuh hajat hidup orang banyak. Salah satu isu yang kini tengah menjadi perhatian adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga sudah menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN awal tahun depan tetap berjalan. Meskipun tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan negara, langkah ini memunculkan pertanyaan besar terkait apakah kebijakan ini dapat menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan, atau justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat dan dunia usaha? [Antaranews]
Kenaikan tarif PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti adalah kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, menurunkan daya beli masyarakat, dll. Apalagi, ada problem korupsi dan pemerintah yang gemar berutang.
Situasi ini adalah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Besarnya pungutan pajak atas rakyat sejatinya adalah bentuk kedzaliman dan membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. Negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, yang melayani kepentingan para pemilik modal.
Sangat jauh berbeda dengan Islam. Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi raa’in, mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Islam menetapkan berbagai sumber pemasukan negara. Pajak bukanlah sumber utama negara, bahkan hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas dalam kosong sementara ada kewajiban atas rakyat yang harus ditunaikan dengan segera.
Paradigma Pembangunan dalam islam adalah mengurus rakyat karena negara sebagai raa’in. Negara tidak akan membebani rakyat dengan berbagai pungutan pajak karena negara yang bersistemkan Islam memiliki beragam sumber pemasukan dengan penghasilan besar, di antaranya dari pengelolaan SDA oleh negara karena dalam islam SDA adalah kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara. Jika hari ini pajak SDA menjadi sumber terbesar, maka dengan sistem Islam penerimaan dana dari pengelolaan SDA yang dilakukan oleh negara sendiri itu akan jauh lebih besar nilainya.
Adapun pemasukan negara dalam Islam tercakup dalam tiga bagian, yaitu fai dan kharaj; bagian pemilikan umum; dan bagian sedekah (zakat). Bagian fai dan kharaj tersusun dari pos-pos, yaitu (1) ghanimah (meliputi ganimah, anfal, fai, dan khumus), (2) kharaj, (3) status tanah (meliputi tanah ‘unwah, usyriyah, ash-shawafi, tanah milik negara, tanah milik umum, dan tanah-tanah yang diproteksi), (4) jizyah, (5) fai, dan (6) dharibah.
Dalam sistem Islam, ada banyak sumber penerimaan negara dalam jumlah besar. Hal ini sejalan dengan sistem kepemilikan yang ditetapkan oleh Islam dan pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam. salah satunya bagian pemilikan umum yang terdiri dari minyak dan gas; listrik; pertambangan; laut, sungai, perairan, dan mata air; hutan dan padang gembalaan; serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Sedangkan bagian sedekah (zakat) meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian, dan zakat ternak berupa unta, sapi, dan kambing. Khusus pos zakat hanya dialokasikan untuk diberikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat berdasarkan ketentuan syariat. Islam juga memiliki mekanisme khusus terkait pajak, hanya saat tertentu dan hanya pada orang yang kaya saja.
Negara bersistemkan Islam dengan fungsi rā’in akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan pengelolaan sumber pemasukan sesuai dengan tuntunan islam. Islam menjadikan penguasa sebagai rā’in yang wajib mengurus rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Negara harus melakukan segenap cara untuk mewujudkan hal itu. Dan Islam memiliki berbagai mekanisme untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa harus dipunguti pajak.
Tanggung jawab negara sebagai pengatur urusan rakyat akan membuat rakyat hidup sejahtera dan tenang serta nyaman tanpa dibebankan pajak. [Wallāhu a’lam bi Ash-Shawāb]