Penulis : Lia Nuryanah (Kepala Desa Cikondang) Kades termuda di Kuningan
Moro atau berburu merupakan suatu kegiatan adat dan budaya pada masa sebelumnya dengan sasaran utama hewan babi hutan. Seiring waktu berjalan, fungsi dari kegiatan moro bertambah fungsi selain adat, juga merupakan suatu usaha untuk meminimalisir kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh babi hutan.
Warga masyarakat Desa Cikondang mayoritas berprofesi sebagai petani. Namun, akhir-akhir ini banyak keluhan karena tanaman sering rusak oleh hama babi. Berangkat dari keprihatinan para petani tersebut, maka warga masyarakat membuat sebuah organisasi yaitu Pamor dengan Ketua, Yutana.
Pamor atau Paguyuban Moro yang di dalamnya terdiri dari masyarakat Desa Cikondang penggemar berburu babi hutan. Kegiatan moro dipusatkan di wilayah desa setempat sesuai dengan tujuan utama yaitu membantu petani meminimalisir hama babi hutan. Dengan bekerja sama dengan LMDH Desa Cikondang, mereka bahu membahu menjaga hutan dan pertanian warga.
Kegiatan moro dilakukan secara manual dan ramah lingkungan, artinya alat yang digunakan benar-benar menggunakan alat manual seperti golok, tombak, jaring tambang dan porog yaitu sejenis jaring jebakan yang terbuata dari kawat baja serta tidak menggunakan racun hewan ataupun senjata api.
Mengingat ini merupakan adat istiadat dan budaya, maka aturan main tetap dijalankan walaupun zaman sudah modern seperti sekarang ini.
Siapa saja yang terlibat?
Walaupun kegiatan moro dipusatkan di wilayah hutan Desa Cikondang, namun dalam kegiatannya bukan hanya warga setempat saja yang ambil bagian, namun banyak warga luar desa penggemar moro yang datang, bahkan dari luar kecamatan. Mulai dari remaja hingga orang lanjut usia pun semangat untuk hadir.
Proses moro
Moro atau berburu ini biasanya dilakukan pada siang hari bahkan sampai malam hari dan menginap di lokasi sampai kegiatan berakhir tergantung dari mulai pencarian jejak awal dan juga kondisi lapangan, tidak perduli cuaca hujan sekalipun.
Mula-mula sang Malim (pawang) mencari keberadaan babi hutan dengan cara menelusuri dan mengikuti jejaknya yang masih baru. Caranya yang unik ini turun temurun warisan dari para leluhur. Setelah hama babi hutan ditemukan, sang malim segera melakukan ritual agar sasaran tertidur pulas.
Di saat hama babi sudah tertidur, anggota lain saling memberi kabar lokasi moro melalui ponsel kepada warga lainnya yang masih berada di rumah. Agar komunikasi lebih mudah, mereka membekali diri dengan Handphon dan HT dan membuat grup khusus PAMOR di WhatsApp. Kemudian mereka bahu-membahu melakukan pemagaran lokasi dengan pagar kayu/bambu, jaring tambang serta porog.
Jika pemagaran sudah beres dan orang-orang sudah siap semua, maka waktu yang ditunggu-tunggu adalah nempuh, artinya perburuan babi yang sebenarnya dimulai. Namun proses nempuh ini dilakukan pada siang atau sore hari karena jika malam hari pandaangan terbatas.
Dalam minggu ini saja kegiatan moro sudah dilakukan tiga kali dengan hasil yang lumayan memuaskan. Perburuan pertama menghasilkan 1 ekor babi hutan dengan bobot sekitar 80kg, kemudian perburuan kedua menghasilkan 3 ekor dengan bobot masing-masing sekitar 50kg dan yang terakhir berhasil melumpuhkan 10 ekor, 3 ekor diantaranya ditangkap hidup-hidup.
Istilah-istilah moro
Ada beberapa istilah dalam kegiatan Moro
Malim : Pawang yang bisa menidurkan babi
Ngalir : Mencari jejak babi hutan
Nyirep : Ritual untuk membuat babi tertidur
Ngagedeg : Pemagaran lokasi yang ada babinya, supaya tidak lolos
Talutug : Bilah kayu atau bambu untuk memagar atau menopang jaring tambang
Jaring : Jaring khusus terbuat dari tambang berukuran sedang dan besar
Porog : Jaring kawat baja berbentuk spiral untuk perangkap babi
Cubluk : Lubang tanah atau parit yang yang didesain untuk perangkap babi
Moro Abur : Berburu tanpa pemagaran, hanya mengandalkan anjing yang diikuti pemburu
Nempuh : Pawang membangunkan babi, waktunya moro babi dimulai dengan memasukan anjing buru.
Rahayu : Mistis yang terdapat dalam perkakas moro
